Delapan

287 45 0
                                    

Zweitson menghela napas, ia memantapkan langkah melewati pintu kaca di depannya. Beberapa orang lalu lalang, dokter dan orang-orang yang memerlukan perawatan khusus kejiwaan pun menjadi pemandangan pertama saat memasuki bangunan ini.

Ruang Melati menjadi tujuannya, empat bulan yang lalu, ia tak pernah lagi menginjakkan kaki di tempat ini, apa Zweitson menjadi anak yang durhaka? Zweitson tersenyum pedih, kadang ia melupakan hal penting yang merupakan bagian hidupnya yang hilang.

Tangannya menggantung, ia ragu untuk melanjutkan langkahnya. Memejamkan mata, Zweitson meyakinkan dirinya untuk bisa membawa senyum ke dalam ruangan itu.

"Aku datang, mah."

Begitu daun pintu itu terbuka lebar, Zweitson terdiam di ujung sana. Ia menahan sesuatu yang ada dalam dirinya.

"Zweitson?"

Satu persatu langkah Zweitson jejaki, ia tersenyum begitu dua tangan terulur padanya. Tidak, ia tidak bisa menahan, ia merindukan pelukan sang mamah.

"Soni rindu."

Usapan lembut di kepalanya dan kecupan di keningnya membuat Zweitson tak bisa lagi membendung kata rindu itu.

"Mamah juga rindu."

Zweitson melepaskan pelukannya, ia menggenggam tangan sang ibu. Senyumnya merekah, bersama dengan usapan kasih sayang di kepalanya.

"Mah, maaf."

"Minta maaf kenapa?"

Zweitson menggeleng, ia kembali memeluk erat tubuh itu. Ia merutuki dirinya, kenapa ia melupakan ibunya? Kesibukan membuatnya lupa sebuah rumah yang menjadi tempat ternyaman nya.

"Aji?"

Zweitson melepaskan pelukan, membalik untuk mengikuti arah pandang sang ibu. Ia tersenyum melihat Fajri yang berdiri di ambang pintu.

Wanita paruh baya yang memerankan tokoh ibu dari dua anak kembar itu melengkung kan bibir.

"Kenapa diam di situ, nak?"

Fajri menelan ludah nya, keringat muncul di pelipisnya. Dalam hati ia bertanya, apa benar ia menyayangi ibunya? Bukti memar di wajahnya seperti ingin berteriak 'ya', tapi waktu berusaha menunjukkan semua kebohongan. Kapan ia terakhir ke tempat ini? Satu tahun yang lalu, tepat pertama kali sang ibu di bawa ke tempat ini. Fajri bahkan terkejut, ibunya masih mengingat dirinya?

"M_mamah," lirihnya, Fajri berdiri tepat di depan sang mamah, wanita yang ia sebut ibu itu tampak lebih kurus dari sejak terakhir kali Fajri bertemu. Sial! Ia bukanlah anak yang baik.

"Wajah kamu semakin mirip sama papahmu," wajahnya di raba, tangan ibunya terasa dingin, dan wajah Fajri pun juga mendingin, rautnya tak terbaca lagi saat mendengar kata 'papah'.

"Fajri, mamah udah lama ngak lihat papah. Tapi dengan kehadiran kamu, rindu mamah jadi berkurang."

Fajri memejamkan mata, jika ditanya apa yang paling ia benci di dunia, jawabannya adalah papah. Jika ditanya nama siapa yang paling tak ingin Fajri dengar, jawabannya tentu papah.

"Mah, Fajri di sini bukan buat jadi pengganti papah."

"Tapi kamu seperti papah kamu."

"Fajri bukan papah mah! Jangan samain Fajri sama manusia brengsek itu!"

Wanita itu tercenung, ia menjatuhkan tangannya, tatapannya kosong. Fajri mengusap wajahnya, menarik kembali tangan sang ibu yang telah ia bentak.

"Maaf."

"Kamu bukan anak saya."

"Maaf, mah."

Zweitson menarik bahu lelaki itu, melihat kondisi ibunya yang seperti sedikit kaget setelah mendengar bentakan Fajri, ia lebih baik membawa Fajri menjauh.

FATUM || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang