Dua puluh dua

219 40 2
                                    

Fiki menyipitkan mata kala cahaya matahari terasa tajam memasuki retina. Ia menyugar rambutnya, menggantung helm pada stang motor, lanjut dengan menenteng paper bag berisikan kue kering yang tadi ia buat bersama Mamah dan kedua kakaknya.

Persoalan ayahnya yang datang ke rumah dengan tiba-tiba sempat membuat keributan. Fajri yang emosional tentu tak membiarkan pria itu memasuki rumah, lalu mamah yang menangis meminta pria itu segera pergi. Akhirnya dengan segala kata usiran, orang yang dulu mereka panggil pahlawan itu pergi meninggalkan rumah. Fiki tidak tau, apakah ia harus senang atau sedih atau bahkan marah, ia sulit memberi ekspresi, tapi tentu nalurinya sebagai seorang anak, ia merindukan sang ayah.

Kamar Violet, tempat dimana Ze dirawat. Iya, Fiki mengunjungi gadis itu, setelah beberapa hari yang lalu gadis itu mengatakan sedikit lukanya.

Hendak membuka pintu, daun pintu itu terlebih dahulu terbuka lebar. Fiki meringsut mundur satu langkah, seorang wanita paruh baya lengkap dengan pakaian formalnya dan tatapan tajam, berhadapan langsung dengan Fiki. Siapa? Ibunya Ze? Fiki mencoba menebak.

"Selamat sore, Tante," sapa Fiki sopan, ia mengulas senyum sesopan mungkin.

"Kamu siapa? Dan mau apa ke ruangan anak saya?"

Fiki meneguk ludah, benar, ini wanita yang tempo hari menelepon di ponsel Ze dan mengomel dengan nada tinggi. Jujur, Fiki sedikit bingung harus bersikap seperti apa, mau bagaimanapun juga, ibunya Ze bukan terlihat' seperti orang yang ramah.

"S-saya temannya Ze, tante." Sial! Gugup menyerang nya, Fiki melihat wanita itu tersenyum miring.

"Teman Zebrina?" Wanita itu lalu menelisik Fiki dari bawah sampai atas, "Apa kamu penyebab Zebrina semakin membangkang dengan saya?"

Fiki tersentak atas tudingan itu, ia juga tak paham alasan mengapa wanita paruh baya itu selalu menuduhnya tanpa sebuah alasan yang tak Fiki ketahui penyebabnya.

"Mah, jangan libatkan orang lain." Suara Ze terdengar dari dalam, jelas gadis itu pasti mendengar pembicaraan keduanya.

Wanita itu menoleh pada Ze, "Kamu juga melibatkan orang lain kan dalam masalah ini?"

Ze berdecak, ia memutar mata kesal, "Zebri mohon, Mamah pulang dulu, aku secepatnya akan keluar dari rumah sakit ini."

"Tepati ucapanmu, atau kamu tau akibatnya." Wanita itu membalikkan pandangannya pada Fiki, hanya melirik tajam, setelahnya ia melangkah pergi.

"Itu Mamah, lo?" tanya Fiki begitu memasuki ruangan. Ia sedikit ngeri dengan ibunya Ze, sepertinya bukan orang sembarangan.

Ze hanya menanggapinya dengan anggukan, "Lo kenapa ke sini?"

"Mau liat lo aja,"ujar Fiki, membuat Kening gadis itu berkerut. "Maksud gue, mau ngejenguk lo, terakhir kali kan lo negatif thingking mulu. Takutnya lo malah nekat," tuturnya meralat sedikit kalimatnya.

Ze membulatkan bibir, ia melirik paper bag di tangan lelaki itu, Fiki yang sadar pun mengulurkan langsung paper bag itu.

"Mamah tadi bikin kue putri salju, gue ngak tau lo suka apa ngak, kalau suka syukur kalau ngak suka lo kasih abang lo aja, kayaknya dia suka semuanya."

Ze menerimanya, ia terkekeh kecil," Bang Shan emang suka semua, kecuali buah."

Fiki menarik kursi, keningnya berkerut, "Tuh orang ngak suka buah? Aneh banget."

Ze mengangguk, seraya membuka toples kue itu, kue itu terlihat menggugah selera, begitu ia menggigitnya satu gigitan, matanya berbinar. "Bang Shan cuma suka buah mangga, itupun mangga yang muda."

Fiki mengangguk paham, ngak salah sih Fiki memberi cap kakaknya Ze sebagai orang aneh.

"Kuenya enak, makasih buat mamah, lo."

FATUM || ENDTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang