"Perlu berapa kali kujelaskan, aku bukan Annastasia!" Anna berteriak kencang. Ia menutup setengah tubunya dengan selimut kala orang-orang mengerumuninya. Sejak mendengar bahwa perempuan yang mereka selamatkan adalah calon Ratu Swanov, mereka semakin gencar mendekati Anna.
"Lady... tenanglah. Anda pasti syok karena kejadian itu," ucap seorang wanita tua yang ia yakini pemilik rumah ini.
"Tidak! Aku bukan Anna--"
"Lady Anna, kumohon jangan seperti ini." Seorang gadis datang dari arah pintu, lalu langsung tersungkur memegang kaki Anna. Anna refleks menarik kakinya.
"A-Amber?" Anna sendiri terkejut karena ia mengenali perempuan itu. Seakan ada bayangan aneh yang terlintas di otaknya.
"Anda... mengenali saya?" Amber menatap Anna dengan sorot mata sembab.
Salah seorang tabib disana tersenyum tipis. "Lady Annastasia hanya syok dan masih butuh waktu. Baiknya kita memberikan kelonggaran agar beliau bisa menenangkan pikiran," ucapnya. Anna ingin sekali menyemprot ucapan tabib itu. Tapi tenaganya terkuras habis. Percuma juga ia berontak. Mereka tidak akan percaya apa yang ia ucapkan. Malah ia akan dianggap wanita depresi yang terlalu syok karena perjodohan dan hanyut di sungai.
Satu persatu orang mulai meninggalkan kamarnya. Tersisa Amber dan Anna disana. Tak membuang waktu lagi, Amber langsung memeluk teman sekaligus tuannya itu dengan sangat erat, sampai Anna dibuat susah bernapas. Namun, Anna membalas pelukan itu. Bahkan sudut matanya mengeluarkan air. Ia tidak tahu sejak kapan dirinya menjadi lebih emosional. Dan perasaan ini, Anna merasa deja vu.
"Apa Anda sudah merasa lebih baik? Apakah masih ada yang terasa sakit? Astaga, Lady... Anda tak tahu betapa cemasnya saya saat mendengar ragamu ditemukan dan sudah hampir membiru! Bahkan awalnya mereka mengira Anda sudah mati. Ya Tuhan, duniaku seperti mau roboh saja," oceh Amber dengan air mata merembes keluar.
"Kau lebay sekali," ucap Anna.
"Saya tidak lebay!"
Anna sedikit tertawa karena ekspresi Amber yang seperti anak usia tiga tahun yang kehilangan balonnya. Setidaknya karena kehadiran Amber, ia tidak sefrustasi tadi. Perasaan nyaman saat bersamanya datang begitu saja. Ia memperhatikan ruangan sekitar, lalu beralih pada tubuh dan rambutnya sendiri. Kulitnya yang seputih susu kini penuh memar dan bekas luka. Amber bergidik melihatnya.
"Astaga, itu pasti sangat sakit," ringis Amber.
"Sudah lebih baik. Tapi agak pusing."
"Pusing?!Lady sakit kepala?! Aduh aku harus gimana.. Oh! Ladymau kupanggilkan tabib?" Anna tertawa lirih memandang Amber yang kelimpungan seperti itu. "Kenapa Anda tertawa? Apakah sakitnya sudah hilang?"
"Hahaha.. bukan, aduh astaga. Kamu kenapa panik banget, sih?" Anna bertanya dengan santai.
Amber menghembuskan napas risau. "Siapa yang tidak panik... Anda calon Ratu negeri ini." Anna langsung tediam.
"Amber, bisakah aku meminta tolong kepadamu?" pinta Anna.
"Tentu saja, Lady. Saya adalah dayang Anda. Hidup saya milik Anda."
Anna tersenyum. "Kau sudah kuanggap adikku sendiri. Jadi janganlah bicara seakan-akan kita adalah majikan dan budak. Mulai sekarang panggil aku Anna saja, ya?"
"Hng? Mana bisa!" Meski terkejut, Amber menolak tegas. "Anda putri Duke Wilhem. Apalagi sekarang adalah calon istri Raja Dameros VI. Kurang ajar sekali saya."
"Kalau begitu anggap saja itu perintahku. Perintah putri Duke dan calon Ratu," balas Anna santai.
"Mana bisa seperti itu, Lady."
"Bisa saja, lah!" Anna tertawa melihat wajah pias Amber. "Jangan bilang lagi kalau hidupmu milikku. Hidupmu adalah milikmu sendiri. Kau memang harus membantuku tapi sebagai teman. Ya?"
Hati Amber tersentuh mendengar ucapan Anna. Mengenal Anna sejak kecil membuat Amber paham sifatnya. Tanpa segan Amber memeluk Anna, lalu menangis di pelukannya. "Selama enam belas tahun hidup, saya pikir hidup saya adalah milik keluarga Duke. Saya dijual menjadi budak dan Lady Rosemary membeli saya. Tapi tuturan anda tadi benar-benar membuat saya punya cahaya hidup. Lady... Anda baik sekali, sama seperti Lady Rosemary. Bagaimana bisa manusia sebaik Anda menderita seperti ini?"
Anna menyeringit, "Lady Rosemary?"
"Ah, maaf." Amber melepaskan pelukannya lalu menghapus air mata. Mendapati wajah kebingungan Anna, Amber menjadi ikut kebingungan.
"Anda melupakan Lady Rosemary?" tanya Amber hati-hati.
Anna berpikir keras. "A-aku seperti mengingatnya.. tapi samar."
"Dia adalah ibu Anda."
Otak Anna memproses dengan cepat. Rosemary Lizar, ibunya. Entah ingatan darimana, Anna bisa mengingat kenangannya bersama Lady Rosemary, ibunya sendiri.
"Ah, nanti akan kujelaskan perlahan. Mungkin daya ingat Anda terganggu karena benturan keras itu." Ucapan Amber membuat Anna mangut-mangut saja.
"Ey, apakah kau lupa perintahku tadi?" Anna memicingkan matanya karena pembahasan mereka justru melebar kemana-mana. Amber merapatkan mulutnya.
"Baik, tidak perlu Anna. Tapi jangan gunakan Anda-Saya padaku. Itu terdengar sangat kaku." Amber mengangguk antusias. Lebih baik daripada ia harus memanggil calon Ratu dengan nama langsung.
"Terima kasih, Lad-- ah maksudku, terima kasih!" Mereka berdua tertawa.
Tanpa mereka sadari, seorang wanita yang sangat berpengaruh di negeri itu mendengar percakapan mereka. Ia tersenyum tipis dibalik topi kerajaan yang menutupi setengah wajahnya.
"Yang Mulia, apakah Anda tidak jadi masuk?" tanya seorang dayang pada Ibu Ratu tanah Swanov, Isla Devide-Dameros yang sedari tadi memperhatikan interaksi Anna dan Amber.
"Tidak perlu. Kurasa ini bukan saat yang tepat." Ibu Ratu Isla pergi begitu saja dengan senyum puas di wajahnya. "Annastasia, gadis itu memang tepat itu Steven."
KAMU SEDANG MEMBACA
The Lost Queen
Ficção HistóricaArina, seorang mahasiswi kedokteran semester akhir yang tengah stress-stressnya menghadapi skripsi, tiba-tiba terbangun di abad 17-an! Parahnya, ia bangun di tubuh seorang Ratu yang memiliki hidup kelam. 'Dijual' keluarganya demi keuntungan kerajaa...