Perkumpulan Bocah Bodoh Dari Segala Penjuru

66 9 6
                                    

SEPERTI ditampar gelombang kesadaran, hal pertama yang membangunkanku dari pingsan yang panjang adalah nyeri pada seluruh sendi dan tulang, lalu guncangan yang tak lazim pada tubuhku, kemudian derap sepatu dari kuda-kuda yang meringkik sebagai latar belakangnya.

Ada sesuatu yang terasa tidak nyata saat kusadari posisi tubuhku sedang meringkuk di atas lantai kayu. Ditambah dengan suasana gelap dan pengap yang menyesakkan dada. Jika tebakanku benar, saat ini aku sedang berada di dalam sebuah kereta kuda ilegal. Penduduk di Las Bornedells biasa menyebutnya trem kuda, semacam gerobak kayu yang biasa dipakai untuk memindahkan barang dari satu tempat ke tempat lainnya. Kusebut ilegal karena trem kuda menuju Space-X yang biasa kutumpangi memiliki kursi kayu yang menempel di sekeliling dinding, jendela lebar untuk ventilasi, dan toples kaca berisi lilin lebah yang sangat wangi. Sementara yang ini, tidak sama sekali.

Secara otomatis, aku memegang tonjolan memanjang dari balik pakaianku. Aku hampir melupakannya. Perkamen pita emas ini belum sempat kubaca, kupikir sebelum memasukanku ke dalam trem ini Madam Benedetta telah mengambilnya. Ajaibnya, ternyata tidak. Aku jadi lega.

Setelah menarik napas panjang dan dalam, aku mencoba bangkit. Aku ingin duduk bersila sambil bersandar di dinding kayu yang hangat. Meski tak tahu ke mana benda sial ini akan membawaku, intuisiku mengatakan jika perjalanan ini pasti akan memakan banyak waktu.

"Lihat, kan? Dia sadar setelah pingsan lebih dari dua puluh menit. Aku yang menang!"

Aku terperanjat. Jujur saja, itu cukup mengejutkan. Kupikir sedari tadi aku sendirian di dalam trem, rupanya aku keliru.

"Kau membuatnya kaget, Fred. Biarkan dia bernapas lebih dulu." Suara lain yang lebih ringan menimpali.

"Iya, sih. Picker badak tadi melemparnya ke dalam trem kasar banget," katanya. "Sori, Anak baru. Kalau gitu, ayo kenalan lebih dulu. Aku Fred," Ada sedikit jeda setelahnya. Kuasumsikan dia sedang menunggu jawabanku, tetapi karena aku masih terdiam, dia pun melanjutkan ucapannya. "Ya, Bushka. Ark aue yoyo?[3] Aku bukan hantu. Berhenti gemetar dan kontrol kernyutan konyol di mukamu itu. Kau mungkin nggak melihat kami karena matamu belum terbiasa dalam kegelapan, tapi ada tiga orang lainnya lagi di sini. Sekarang termasuk denganmu, kita jadi berempat."

"Yang benar?" Akhirnya aku menyahut, disusul oleh kekehan garing dari Fred.

"Ada Dalton dan juga Dylan di sini. Kami persis di depanmu. Mungkin kalau kau luruskan kedua kakimu, salah satunya akan mengenai kami."

Aku mengangguk kecil dan melakukan apa yang Fred minta tanpa bertanya lagi. Benar, dia tak berbohong. Aku merasakan sensasi asing saat kujulurkan kaki dan telapak kakiku yang telanjang menyentuh sesuatu, kurasa itu betis berbulu.

"Oke, cukup. Itu bikin geli dan rasanya menjijikan. Aku Dylan Tucker. Siapa namamu?" Ternyata itu Dylan, pemilik suara yang ringan tadi. Dan pastinya si pemilik betis berbulu.

"Jasper," jawabku. "Aku Jasper Adams."

"Omong-omong, kau berasal dari rumah singgah mana, Jasper?" Dylan bertanya lagi saat kedua mataku sudah bisa menangkap tiga siluet manusia. Itu pasti mereka. "Aku dan Dalton berasal dari rumah singgah milik Sir Arthur di utara Kota. Kalau Fred dari rumah singgah Madam Olivia di barat."

"Aku tinggal bersama Madam Benedetta cukup lama," kataku, lalu teringat saat Picker banteng yang memakai fedora abu-abu itu mengatakan sesuatu soal anak-anak dari rumah singgah di sebelah utara yang merepotkan. Itu pasti Dalton dan Dylan.

"Ugh, Madam Bee dari timur Kota Las Bornedells? Pantas saja kau agak pendiam, Jasper. Kau terbiasa hidup di dalam neraka, sih." Fred mencoba berkelakar, tapi sepertinya dia memiliki kebiasaan buruk untuk sekaligus meremehkan orang lain. Karena setelah dia selesai bicara seperti itu, terdengar pula cekikikan dari mereka bertiga.

The Flare [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang