AKU mulai berhitung dari dalam hati saat seluruh kursi, satu per satu, mulai terisi penuh. Delapan remaja tanggung, termasuk diriku, kemungkinan besar berasal dari beberapa rumah singgah yang tersebar di Las Bornedells akhirnya berkumpul dalam satu meja.
Fred duduk di sebelah kananku, mengenakan setelan jas rapi berwarna biru gelap dengan rambut mengilat yang disisir ke belakang. Wajahnya tegang sekali. Matanya melirik ke sana kemari dengan cepat, sementara tubuhnya yang gempal dipaksa tetap tegak di tempat.
Di depanku, Dalton dan Dylan melambaikan tangannya. Kebalikan dari Fred, bak kaum aristokrat, mereka berdua tampak menikmati atmosfer resmi yang tercipta di dalam ruangan makan ini. Keduanya terlihat gagah mengenakan tuksedo hitam dengan kerah satin yang terbuka.
Dan lucunya, saat kuperhatikan lebih saksama, rupanya penampilanku malam ini benar-benar menjadi yang terlihat paling simpel atau mungkin berantakan di antara semuanya. Hanya diriku saja yang menyisipkan salah satu sisi depan dari kemeja panjang yang kugunakan ke dalam celana, sementara bagian tangannya kugulung hingga menyentuh siku tanpa tambahan lain seperti mantel atau sejenisnya untuk melapisi bagian dalam.
Jaime memang menyarankan agar aku memakai pakaian yang lebih mewah, semacam setelan jas setengah resmi seperti yang Dalton dan Dylan pakai, tetapi dengan tegas aku menolaknya. Lagi pula, ini hanya acara makan malam biasa. Apa yang membuatnya menjadi istimewa hanyalah karena kedelapan manusia yang mengikutinya merupakan bocah-bocah malang dan menyedihkan seantero Las Bornedells.
Yah, tadinya aku berpikiran seperti itu.
Ironisnya, meski penampilan luarku tampak seperti bocah urakan, raut wajahku jelas-jelas menunjukkan adanya kegelisahan yang paling besar dibandingkan mereka. Lututku saja sampai gemetaran di bawah meja dan keringatku, wah, mengucur deras seperti air terjun niagara yang gambarnya terpajang di Space-X.
Aku mencoba beberapa peregangan dengan menahan napas dan mengembuskannya perlahan-lahan, dengan harapan agar urat sarafku yang tegang bisa sedikit kendur. Saat menoleh ke kiri, aku malah mendapati seorang gadis berwajah oriental, jangkung dan kurus, tengah memperhatikanku dengan saksama. Rambut hitamnya yang lurus jatuh terurai ke pundaknya, hingga menutupi telinga dan lehernya. Tampak serasi dengan gaun merah tanpa kerah yang membalut tubuhnya.
Perempuan itu hanya diam, menatapku selama beberapa saat. Kemudian, dia menggelengkan kepala. "Picker-mu nggak memberi tahu ya? Setelah istirahat makan malam, kita akan memilih pemimpin Gadabout," katanya. "Jangan harap ada yang mau memilihmu menjadi seorang pemimpin dengan penampilan kacau seperti itu."
Aku mengernyit, kedua alisku sampai beradu karenanya. Namun, belum sempat aku membalas ucapan perempuan itu, daun pintu besar yang sejajar dengan meja makan besar ini terbuka. Menampilkan Roger, Madam Benedetta dan beberapa orang dewasa lainnya yang kuduga pemilik rumah singgah seperti dirinya, berjalan ke dalam aula dengan segala kemewahan di tubuh mereka. Bahkan, aku pun baru tahu jika Madam Benedetta bisa berdandan seperti itu, dengan gaun hitam panjang kelip-kelip dan bulu mata lentik yang pastinya palsu.
Jujur saja, selama tinggal dengannya, Madam Benedetta lebih sering terlihat memakai terusan dengan rok yang memeluk erat mulai dari pinggul hingga ke area kakinya. Aku tidak tahu apa nama model pakaian yang biasa dikenakan Madam Benedetta tersebut, yang jelas, pemandangan itu bisa membuat siapa pun yang melihatnya mendadak frustrasi dan sesak napas.
Mereka berjajar rapi, tersenyum lebar dengan dagu yang diangkat tinggi-tinggi. Aku tak mengerti maksud dari perbuatan mereka. Kurasa semuanya dari kami hanya bisa terbengong-bengong menyaksikannya. Sampai akhirnya, mataku dan mata Madam Benedetta bertemu. Bibirnya yang semula tersenyum seketika mengernyut padaku. Dengan pose yang masih sama, mata Madam Benedetta membelalak, seolah-olah tak percaya dengan apa yang sedang dilihatnya. Samar-samar aku membaca gerakan bibirnya yang mengeja kata B-O-D-O-H.
KAMU SEDANG MEMBACA
The Flare [TELAH TERBIT]
Science Fiction#1 postapocalypse #1 karma6 #11 distopia Bagi Jasper Adams, ada 2 hal penting yang membuat hidup konyolnya di usia 15 semakin terasa menyedihkan: Satu, sekeras apapun berusaha, Jasper tetap tak bisa mengingat bagaimana rupa kedua orang tuanya. Kedua...