Hari Tenang Sebelum Hujan Badai (1)

51 8 9
                                    

BANYAKNYA kunci yang berdencing-dencing dari arah luar menjadi suara pertama yang kudengar saat membuka mata. Disusul derit pintu geser yang terbuka, kemudian berkas cahaya yang membentuk bayangan memanjang pun merangsek masuk ke dalam trem kuda. Aku berpaling, memicingkan mata dan menangkap bayangan tangan tengah terulur ke arahku.

Kaget? Tentu saja. Secara spontan, aku merosot. Lututku lemah, mendadak lupa caranya berdiri begitu uluran tangan itu mencengkeram leher bajuku dengan kasar. Detik berikutnya, aku menyadari tubuhku sedang dilempar seorang pria asing—membantingnya ke luar trem—membuatku nyaris tersungkur seandainya kedua kaki ini tak berhasil menapak dengan sempurna di atas batuan pejal.

"Halo, gerombolan tukang tidur. Selamat pagi," katanya, terdengar ramah tapi tak cukup tulus. "Sudah berkenalan cukup jauh? Ayo keluar. Teman-temanmu yang lain sudah menunggu di dalam."

Seperti mimpi, entah mengapa tempat ini terasa silau sekali. Kupikir cahaya obor yang menerangi jalanan di Kota Las Bornedells tak akan pernah bisa menghasilkan pendar cahaya seterang ini. Aku hampir percaya tengah berada di jalanan menuju nirwana jika saja tak kulihat sosok yang kuyakini sebagai Fred, Dalton dan Dylan, mengikutiku keluar dari trem dengan cara yang sama denganku; sama-sama melayang berkat Si Tuan Kusir Ramah Tangan Kekar Berotot.

"Hei! Kami bukan hewan, Pak! Kenapa kasar begitu, sih?" Bocah gempal dengan rambut kusut dan jerawat di wajahnya itu berteriak. Aku mengenalinya. Itu suara Fred. Dan itu artinya, dua lelaki yang memiliki wajah sama persis di sebelahnya pastilah Dalton dan Dylan. Wow, ternyata mereka saudara kembar.

Pria itu berjengit. "Siapa yang bilang kalian hewan?"

"Kau melempar kami ke luar seperti pada binatang. Itu nggak sopan, Pak!"

"Aku cuma pekerja selingan, tugasku adalah membawa kalian berempat kemari dengan aman. Jadi jangan repot-repot mengobrol denganku, apalagi protes soal bagaimana kelakuanku," katanya dengan ketus.

"Kau membawa kami ke—"

"Hei! Sudah kubilang jangan banyak bicara!" Pria itu membentak Fred dengan galak. Sudah kuduga, sekali lihat dari penampilan luarnya saja, dia pasti bukanlah tipikal orang yang bisa tulus berhubungan dengan sesama manusia. Terbukti, pria yang memakai setelan perompak dan mengikat rambutnya yang gondrong asal-asalan seperti itu sanggup membuat Fred yang kritis dan banyak bicara ini menjadi bungkam, dan bersembunyi di belakang tubuhku yang jauh lebih kecil dua kali lipat darinya.

Kulihat, bibir Dalton berkedut. Dia sedang bersiap untuk angkat bicara. Namun, saat jari telunjuk dari tangan berotot pria asing itu menunjuk ke arah belakang kami, Dalton mengurungkan niatnya.

Secara otomatis, perhatian kami berempat teralihkan ke arah yang sama dengan jari yang terangkat. Sebuah gerbang kayu setinggi dua meter berdiri dengan kokoh di hadapan kami semua. Mengapit dinding merah yang menjulang di kedua sisinya, membuatku takjub sekaligus terheran-heran. Seindah inikah batas dinding di kota ini?

Las Bornedells memang memiliki pesonanya sendiri. Kuakui, kota bawah tanah satu ini terlihat cantik dan menawan. Semuanya tertata dengan rapi. Bagai di alam mimpi, sejauh mata memandang, rumah-rumah berbentuk kubus tanpa genting berderet membentuk lingkaran raksasa. Dan pusat dari semua bangunan itu merupakan sebuah kolam air mancur yang memancar langsung dari sumbernya.

Menurut sejarah, para arsitektur zaman dahulu memang sengaja menciptakan Las Bornedells dengan desain Negeri 1001 Malam, dibangun menggunakan tanah liat yang dibakar. Tak ada alasan khusus dari rancangan itu, selain karena tak akan pernah ada hujan yang turun di Las Bornedells.

Tak hanya sampai di situ saja, pemekaran Las Bornedells terbagi menjadi empat bagian dengan masing-masing pemimpin klan di setiap wilayahnya. Namun, tetap menjadi satu di bawah naungan pemerintahan pusat. Dan setiap wilayah memiliki keunggulan sumber daya alam yang berbeda-beda.

The Flare [TELAH TERBIT]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang