Part Tiga

934 97 5
                                    

Pagi telah menyapa dua insan yang berada dalam satu ranjang. Mata Lavina perlahan terbuka, keningnya mengerut melihat sosok pria tepat di depan matanya. Nyawanya masih belum berkumpul, bahkan matanya berkedip-kedip saat sosok pria di depannya ini terlihat familiar.

Siapa ya?

"Akhirnya lo bangun juga putri tidur," nada suara Leon terdengar menyindir. Pria itu bahkan sudah bangun tidur dengan posisi miring dan tangan menyangga kepalanya.

Lavina masih terdiam sambil mengamati wajah Leon yang sangat dekat. Jujur saja, Leon itu kadang terlihat tampan kalau diam, tidak usil dan bikin darah tinggi Lavina.

Tunggu dulu.

Leon?

Ah, pria di depannya benar-benar Leon?!

Lavina langsung memundurkan dirinya hingga jatuh dari ranjang. Ia memekik kesakitan karena tubuhnya menghantan lantai. Dan ini semua gara-gara Leon!

"Ngapain lo tidur sama gue!" pekiknya. Ia menunduk dan menatap tubuhnya. Lavina bernapas lega ketika pakaiannya tetap sama. Bukan apa-apa, meski ia tak seksi, wajahnya 'kan cantik. Siapa tahu 'kan Leon tiba-tiba khilaf.

Lavina tak sadar, bahwa sah-sah saja kalau Leon menyentuh dirinya.

"Kita 'kan suami istri. Kasian, masih muda udah pikun," ejek Leon sambil geleng-geleng.

Mata Lavina berkedut dan rasa ingin melempar Leon ke laut semakin tinggi. Pagi-pagi sudah membuatnya marah-marah tak jelas. Dan tetap karena ulah Leon.

Gerak pun, Leon orangnya ngeselin, apalagi sampai mulutnya nyinyir. Tambah ngeselin lagi.

Leon terkekeh melihat wajah merah padam Lavina. Pria itu tahu, saat ini Lavina sedang marah. Dasar memang sih, Lavina yang suka emosi, 'kan Leon jadi suka godain.

"Aduh, suayang, gak usah marah-marah. Padahal semalam lo meluk gue, terus nempelin muka lo di dada gue, terus—"

"Jangan dilanjutin!" Wajah Lavina tambah memerah. Bukan lagi karena amarah, tapi karena ia sedang merona. Perkataan Leon barusan seperti dirinya yang kegatalan.

Tapi, mana mungkin Lavina melakukan hal itu. Apa benar sih, semalam ia memeluk Leon? Tapi kalau dipikir-pikir, tadi saat bangun tidur, tangannya berada di pinggang Leon.

"Kenapa? 'Kan memang bener lo meluk gue. Aduh suayang, gak udah malu-malu keong, akui kalau gue memang nyaman buat lo peluk. Haha..."

"Dasar sinting."

"Dasar istri durhaka. Mengumpati suami itu dosa besar. Tck, dosa apa gue punya istri modelan kayak lo." Leon beranjak dari ranjang. Meninggalkan Lavina yang masih di lantai menuju ke kamar mandi.

"Nyenyenye, mengumpati suami dosa katanya? Terus dia buat gue darah tinggi gak dosa gitu?" Lavina bangkit dari lantai, meringis merasakan bokong dan lengannya sakit. Suami kurang ajar si Leon. Bukannya bantuin, malah ditinggal.

****

"Gimana malam pertamanya? Lancar?" Sarmi menatap putrinya penuh penasaran. Apalagi semalam, Sarmi tak mendengar suara gaduh di dalam kamar Lavina. Sarmi berpikir mereka bermain pelan dan santai supaya tak terdengar.

Mendapat pertanyaan dari ibunya, Lavina menatap horor Sarmi. Malam pertama apaan, boro-boro malam pertama, yang ada adu mulut sama Leon.

Dan juga, jangan sampai ia melakukan itu sama dia. Nikah aja terpaksa, masa nana nina sukarela.

"Ibu kok tanya kayak gitu sih," kesalnya yang tak ditutupi.

"Kenapa? Ibu 'kan tanya. Apalagi kalian pengantin baru."

"Auh ah, gak usah bahas kayak gitu."

"Halah, Ibu tau, kamu lagi malu 'kan. Gak papa, namanya pengantin baru memang begitu."

Lavian memutar bola matanya malas. Tak ada tuh, namanya malam pengantin baru. Dan tak ada akan, pastinya. Lavina mengabaikan ibunya dan menyajikan makanan di meja makan.

Pagi-pagi ia sudah merasa kesal plus dongkol. Dan ibunya malah menambah kekesalannya. Bagaimanapun juga, tak akan lama lagi ia dan Leon akan cerai. Pernikahan tak akan bertahan lama kalau sama-sama tak saling mencintai. Dan semoga aja Leon bisa diajak kerja sama.

Gila apa, kalau pria itu benar-benar minta uang 100 juta. Dapat uang dari mana coba? Lavina 'kan cuma pengacara, pengangguran banyak acara. Beban ibu dan ayahnya. Dan masih suka rebahan dengan mehalukan cogan.

Ya meski usianya 23 tahun, 'kan tetap saja masih bisa bermanja sama orang tua. Apa mungkinkah karena ibu dan ayahnya tak sanggup menampung hidupnya, jadinya mau dinikahin?

Apesnya bukan melalui perjodohan di awal, malah ibunya asal comot pasangan.

Ya Gusti, semoga Lavina bisa tabah menghadapi sikap Leon ke depannya. Jangan sampai ia mati muda karena penyakit darah tinggi.

"Suamimu diambilin makanan dong, Vin." Lavina yang ingin mengambil makanan untuknya sendiri terhenti sesaat. Lavina menatap Leon duduk anteng tanpa ambil makanan sendiri.

Melihat wajah menyebalkan Leon, ia tahu kalau pria itu sedang mengerjainya. Dan apa-apaan itu, ngapain gak ambil makan sendiri? Punya dua tangan juga.

"Iya bu."

Lavina sengaja mengambil makanan banyak dengan sambal yang juga banyak. Haha, Lavina tertawa di dalam hati melihat Leon melotot. Rasakan, siapa suruh manja.

"Sambalnya kebanyakan Vin, nanti Leon sakit perut loh," ujar Sarmi menatap sambal buatannya separuhnya diberikan pada Leon, bukan apa-apa, soalnya sambalnya super pedas.

"Gak papa kok, Bu. SUAMI Lavina 'kan suka pedas. Iya 'kan, SAYANG." Lavina tersenyum lebar ke arah Leon.

Leon yang awalnya mengerjai Lavina tak menyangka dendamnya akan sebesar itu. Leon tak begitu suka pedas, dan Lavina sengaja memberikannya. Tersenyum kecut, Leon menatap tajam pada Lavina dan memaksakan senyuman.

"Iya, Ibu, saya suka makan pedas, apalagi kalau makan sepiring sama Vina. ROMANTIS 'kan SAYANG."

"Astaga, kalian benar-benar cocok banget. Gak salah aku nikahin kalian. Aduh, Mas, jadi ingat waktu kita muda ya." Sarmi menoleh pada suaminya. Dan Handoko, sang suami mengangguk-angguk saja.

Tangan Lavina mengepal. Huh, sepiring berdua? Jangan bermimpi.

"Untuk saat ini gak deh SAYANG, aku makan sendiri malu sama orang tua." Tersenyum, dengan cepat Lavina mengambil makanan untuknya sendiri.

Akhirnya Lavina puas melihat Leon menahan rasa pedas ketika memaksa makan. Lihat tuh, wajahnya memerah. Pasti sebentar lagi perutnya melilit. Haha, rasain, siapa suruh jadi orang nyebelin.

Di rumah Lavina, makan tidak menu pedas, kurang nikmat, begitulah nyatanya. Meski sarapan pagi, harus ada sambal dong.

Wajah Leon sudah memerah. Jika waktu bisa diputar, ia tak akan mengatakan kalau menyukai sambal. Untuk sambal seujung sendok tak masalah untuknya, nyatanya sambal diberikan Lavina tak kira-kira. Menahan perut mulas sampai sarapan selesai, Leon ngacir ke kamar mandi.

"Lihat saja lo, Mbrot, gue beri pelajaran lo. Uhh—"

Suara kentut berentetan terdengar di kamar mandi. Leon sudah tak malu, kalau didengar mertuanya atau ditertawakan Lavina. Saat ini perutnya benar-benar mulas sekali.

***
09/04/22

Mmg sepi ya wp. Meski gak capai target, tetep aku up

Marriage With Enemy part empat dan Lima ada dikaryakarsa.

https://karyakarsa.com/BilqisShumaila/marriage-with-enemy

𝐌𝐚𝐫𝐫𝐢𝐚𝐠𝐞 𝐖𝐢𝐭𝐡 𝐄𝐧𝐞𝐦𝐲 ( 𝐄𝐍𝐃)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang