.
.
.
.
Setibanya di sekolah aku langung berpamitan dan buru-buru turun dari mobil. Bahkan aku berjalan mendahului Sean, iya aku memang hendak menghindarinya.
Sialnya yang aku hadapi di depanku adalah Benny yang sedang duduk di atas motornya dengan membawa kantung plastik transparan di tangannya.
'Aku ngga liat dia, beneran ngga liat. Jadi jalan aja terus Nya'
Aku berjalan terus tanpa melihatnya, berharap diapun tidak menghiraukanku.
"Anya!" Benny malah melakukan hal yang aku cegah untuk terjadi. Mau tidak mau aku harus berbalik dan menghadapinya.
"Cuek banget sih, pacar. Senyum dulu dong,"
"Udah cepetan maumu apa?" Ujarku dengan malas.
"Galak banget sih. Aku Cuma mau kasih ini ke kamu,"
Benny menyodorkan kantung plastic itu padaku. Aku sebenarnya enggan menerimanya, namun hubunganku dengannya sebenarnya tidak harus seburuk itu sampai aku tidak mau menerima pemberiannya.
Lagi pula dulu kita cukup akrab, jadi tidak sopan kalau aku menolaknya. 'Bilang aja mau sih Nya.'
"Titipan, Dari mertuamu," Ujar Benny yang tentunya bisa didengar banyak orang di sekitar gerbang.
Termasuk Sean yang baru saja melewatiku dan Benny. 'Aduh kenapa dia harus bilang gitu sih'
Mau bagaimana lagi, aku lantas menyautnya dan meninggalkan Benny yang masih berdiri di sana. Jujur aku mulai terbiasa dengan sikap Benny yang seperti ini.Namun ini tidak seperti Benny yang aku kenal dulu. Dulu dia sangat tidak suka jadi topik perhatian banyak orang, dia juga tidak bicara sebanyak ini di depan banyak orang. Entah kenapa sejak beberapa bulan ini dia jadi berubah.
Dahulu aku dan Benny cukup akrab bahkan untuk dikatakan sebagai sahabat. Namun kita merenggang semenjak dia pindah dari lingkungan tempat tinggalku.Kami tidak lagi sering bertemu sampai-sampai canggung untuk berbicara satu sama lain lagi.
Aku yakin kamu pasti akan terkejut sekaligus terganggu sepertiku mendapati teman lama yang sudah menjadi canggung tiba-tiba membuat kehebohan dan melibatkanmu.Akibat perbuatanya itu, kakak kelas hits yang katanya adalah mantan Benny secara rutin memakiku saat aku berpapasan dengannya di manapun. Benar-benar dimanapun.
Bahkan pernah sekali saat aku sedang jalan dengan Ayu, aku berpapasan dengannya dan dia berteriak dengan lantang "Ada cewe centil yang suka ngerebut pacar orang nih" ditengah keramaian. Kalian seharusnya tahu pagaimana perasaanku saat itu.
Aku sudah cukup sabar menerima itu semua. Aku hanya berharap Benny berhenti bertingkah seperti ini supaya rumor ini berhenti dan Kak Sekar (kakak kelas, mantan Benny) berhenti menggangguku lagi.
Siangnya, saat istirahat, entah karena semalam aku terlalu banyak minum atau aku yang gugup akibat kuis fisika dadakan, aku benar-benar tidak tahan buang air kecil.
Aku pergi ke toilet sendiri, Ayu dan beberapa temanku sudah terlebih dahulu pergi ke kantin.
Baru saja aku keluar dari toilet, lagi-lagi aku bertemu dengan Benny. Dia memang sering lalu-lalang si sana karena tongkrongannya dan komplotannya ada di gudang dekat toilet.Aku enggan menghiraukannya dan tetap memasang pandangan lurus ke depan.
Lagi-lagi dia mengacuhkanku seperti hari kemarin, dia terus melangkah bahkan tampa melirik ke arahku sedikitpun. Bukannya aku ebrharap dia menyapaku, tapi ini sangat bertolak belakang denga napa yang silakukannya tadi pagi. Apa sebenarnya maksud dia? Saat dikeramaian dia bertingkah menyebalkan, tapi saat sepi dia seperti ini.
"Anya," Benny tiba-tiba saja memanggilku sehingga menghentikan langkahku.
Bukannya dia mau mengacuhkanku, kenapa sekarang dia memanggilku?
Aku berbalik dan melihat kearahnya."Yang tadi, kasih ke orang tuamu. Bilang juga itu dari papahku," Setelah mengatakan itu ia langsung berbalik dan melanjutkan perjalanannya.
"Kenapa sih dia? Aneh banget," Ujarku dan lantas menyusul teman-temanku di kantin.
***
Di rumah, saat makan malam, aku memberikan bungkusan yang tadi pagi diberikan Benny pada keluargaku. 'Dia bilang aku harus memberikan ini pada orang tuaku dan bilang kalau ini dari Om Panji, kan? Oke ini aku lakukan.'
"Ayah, Ibu, ini ada titipan dari Benny," Aku menaruh bungkusan yang sama sekali belum aku buka itu di meja makan.
"Apa ini, Nak?" Tanya Ayah.
"Aku juga belum tahu, sih. Belum aku buka,"
Ibu lantas membuka bungkusan tersebut, ternyata isinya lima kotak pie susu."Loh yah, ini bukannya pie susu punya istrinya Pak Asmajaya?" Ibu menunjukkan bungkus itu pada Ayah.
Istri Pak Asmajaya? Berarti itu ibunya Sean, kan?
Anehnya dari yang semula aku sama sekali tidak tertarik dengan isi bungkusan itu mendadak jadi ingin tahu."Oh iya mah, bener. Wah Benny bisa dapat ini dari mana ya? Setahu papah ini belum banyak dipasarkan," Tanya Ayah.
Oh benar, aku lupa. "Itu, katanya titipan dari Om Panji, Yah." Ucapku.
"Panji? Tumben sekali dia kasih kita beginian, padahal suah bertahun-tahun dia tidak menghubungi kita," Ujar Ayah yang sama herannya denganku.
"Ya, mungkin ini bentuk dari beliau mau menyambung silaturahmi, Yah. Sudah tidak usah jadi masalah," Ujar Ibu yang memang selalu berkepala dingin sejak dulu.
Kriiinggg!!!
Tiba-tiba telepon rumah berbunyi, jam segini bibi yang mengurus rumah sudah pulang, jadi aku menawarkan diri untuk mengangkat teleponya yang berada di dekat ruang tamu.
"Halo? Dengan siapa?" Ucapku saat mengangkat teleponnya.
"Ini aku, Benny," Tumben sekali, untuk apa dia malam-malam begini menelepon ke rumah? Padahal dia sama sekali tidak pernah menelepon.
"Ada apa?" Jawabku singkat.
"Titipan dari papah tadi, udah kamu kasih ke om sama tante, kan?" Ujarnya dari ujung telepon dengan suara datar.
"Iya udah, tenang aja udah aku sampein," Ujarku.
"Ya udah, Cuma mau tanya itu. Sorry kalo ngeganggu,"
Benny lantas menutup sambungan teleponnya. Dia menelepon hanya untuk alasan itu? Aneh sekali, apa hal ini sebegitu pentingnya untuk dia sampai-sampai harus memastikannya lewat telepon? Seperti sebuah tugas yang harus di pastikan keberhasilannya."Anya, siapa yang telepon?" Tanya Ayah yang menyusulku ke ruang tengah.
"Benny yah,"
"Benny? Sudah putus sambungannya? Padahal ayah mau telepon kerumahnya. Ya sudah, ayah telepon balik saja," Ujar Ayah.
Begitulah hubungan dua keluarga yang sudah lama terputus terhubung kembali.
Aku lantas kembali ke dapur dan mengambil beberapa potong pie susu milik ibu Sean untuk aku bawa ke kamar.
KAMU SEDANG MEMBACA
OCEANS
Teen Fiction"Laut dan semua kenanganmu, bagaimana aku bisa lupa? Bagaimana bisa aku relakan? Laut, bisakah kau kembali? Aku dan airku kehilangan muaranya" Serry tidak sengaja menemukan buku harian sang ibu. Di dalamnya penuh dengan tulisan tangan ibunya yang m...