"Wira."
"Ya?"
"Aku mau punya anak."
Kata-kata Widya membuat pria muda itu terkesiap. Di usia yang diujung 18 tahun, pria muda itu berhadapan dengan sosok Widya, gadis cantik berpendirian teguh yang menyatakan keinginan terdalamnya. Matanya mengerjap beberapa kali menatap gadis yang dengan santainya mengatakan hal itu sambil mendorong kakinya hingga ayunannya mengangkat tubuhnya terbang tinggi. Rambut pirangnya indah tersibak angin.
"Nanti juga kamu bakal punya anak," tukas Wira setelah kembali ke akal sehatnya.
Sepasang muda-mudi itu tenggelam kembali dalam pikirannya masing-masing di atas ayunan taman. Wira meraih pegangan ayunannya, mengayunkan tubuhnya pelan sementara Widya terlihat semakin tinggi mengayunkan ayunannya hingga mencapai titik tertinggi lalu di ujung terdepannya, ia melompat dari ayunannya, berputar cantik dan mendarat dengan tangan terangkat ke atas layaknya seorang cheerleader.
Wira tersenyum kagum menatapnya. Kadang ia lupa, gadis yang disukainya itu pernah mencicipi dunia gimnastik profesional sebelum akhirnya berhenti sepeninggal ibunya.
Gadis yang pemberani itu seolah tak habis energinya walau hari sudah malam dan dingin menyelimuti keduanya. Tak terlihat sama sekali jejak sisa rasa takutnya setelah terbang turun dari ketinggian tertinggi ayunan yang tadi dinaikinya.
Ia berbalik, dengan senyum di wajahnya berlari ke arah Wira yang duduk di ayunannya lalu meraih rantai ayunan, menjejakkan kakinya di antara kedua kaki Wira dan gerakannya membuat ayunan itu terbang jauh lebih tinggi dengan Wira yang kaget, panik memegang erat rantai ayunannya karena gadis itu menerbangkan ayunannya dengan penuh semangat.
"Wid-! Hati-hati!"
Gadis itu kembali melompat, kali ini ke arah belakang, memutar di udara lalu mendarat. la tertawa laluw menahan ayunan Wira, membuatnya berhenti. Ia menatap Wira yang duduk lebih rendah darinya.
"Dasar penakut." Ledeknya.
"Mana mungkin aku ga takut! Gimana kalo kita jatuh!?"
"Ya jatuh berdua lah," kelakarnya dan tertawa keras. Wira sama sekali tidak tertawa, ia takut sekali kalau keduanya jatuh-tidak, ia lebih takut Widya yang jatuh dan terluka. Tapi gadis itu tak peduli, atau lebih tepatnya, tak mau tahu.
"Tapi aku ga mau nikah." ucapnya. Matanya menatap lurus pada Wira yang menengadah padanya.
"Nah, itu yang agak sulit."
"Agak sulit apanya? Aku anak pelacur, lahir tanpa ikatan pernikahan dan ga pernah tau siapa ayahnya."
"Aku ga suka kamu bilang kamu anak pelacur, Wid."
"Aku ga peduli, toh pelacur itu pekerjaan Ibu, sama kaya ayah kamu juga politisi, itu pekerjaannya kan? Yang ribet tuh manusia yang suka melabeli orang-orang semaunya. Lahir tanpa bapak, dicap anak haram. Aborsi atau gagal dalam menikah atau gagal mencapai sesuatu disebut aib keluarga. Emang Tuhan pernah bilang kalo anak yang lahir tanpa ikatan pernikahan itu anak haram?"
"Aku ga mau ngomongin Tuhan, Wid. Otakku ga nyampe."
"Oke, tapi intinya, aku mau anakku bebas menentukan hidupnya, sama seperti ibunya. Mau nikah kek, engga nikah kek, apapun itu, bebas terserah dia. Asalkan dia bertanggung jawab atas apapun pilihan dia." jawabnya mantap. Rasa kagum Wira pada gadis berambut pirang ini bertambah, berbunga hingga mengundang kupu-kupu hinggap di perutnya.
"Boleh aku kagum sama pola pikirmu, Wid?"
"Dari dulu kagum mulu. Kontribusi dong, do something! Jangan cuma kagum doang!" gelak tawanya terdengar merdu di telinganya. Wira tersenyum, menganggap pernyataan Widya adalah tantangan baginya.
KAMU SEDANG MEMBACA
[M] Midnight Carnival | NCT
Fanfiction❌⛔Karnaval hanya dibuka tengah malam⛔❌ ❌⛔Pengunjung dibawah usia 21 tidak boleh mengunjungi karnaval ini⛔❌ ❌⛔Semua reaksi diluar tanggung jawab pengelola⛔❌ DM untuk request. Update suka-suka, timeline seenaknya Taperwer 😎👍🏻 ______________________...