Sore ini langit terlihat begitu cantik. Kawanan burung terbang beriringan tampak begitu rapi. Hinggap satu, hinggap semua. Entah yang mana di antara mereka yang ditunjuk sebagai pemimpin. Mungkin tidak ada yang memilih, dan tidak ada yang dipilih. Hanya saja, memang seperti itu cara sosialisasi mereka.
Pelan aku pejamkan mata, menghirup udara di sore ini terasa begitu menenangkan. Bibirku tersungging tipis. Pasti aku terlihat begitu cantik. Beruntungnya tidak ada siapa-siapa di sini. Di pematang sawah seluas ini. Hanya ada aku, dan ... Kisah yang harus usai selepas petang.
Hummmhh ... lama sekali aku tidak merasakan suasana seperti ini setelah lama tinggal di Ibukota. Hidup sebagai anak kost, yang sehari-harinya disibukan dengan bekerja sebagai pelayan, membuat aku lupa rasanya menikmati santai. Namun hari ini, di sini, di kampung halaman, aku bukan sedang liburan. Melainkan hanya ingin menyelesaikan urusan. Sebuah keuntungan besar, majikanku memberiku izin cuti panjang. Memang, selama dua tahun kebelakang, aku tidak bisa pulang. Alasannya sebab pandemi yang kisahnya tak kunjung usai. Menyedihkan.
Aku menarik napas dalam-dalam, lalu menghembuskannya secara perlahan. Rumit sekali masalahku ini. Bagi sebagian orang mungkin akan mudah mengambil keputusannya. Tanpa mempertimbangkan hal lain, aku juga bisa sebenarnya. Susah memang mempunyai karakter pemikir. Ah, atau mungkin memang sudah ada pada masanya saja. Semua orang juga pasti ada di titik ini, di titik serumit ini mempertimbangkan masalah. Tidak pernah terpikirkan memang jika aku telah sampai pada titik sebuah pendewasaan. Semua berawal sejak masa sekolahku.
****
Sebuah jam weker berbunyi cukup nyaring. Aku sadar ini sudah jam lima subuh. Tapi aku malas beranjak dari tempat tidur untuk sekadar mematikan jam weker yang biasa Ayah taruh di atas nakas. Kebiasaan. Padahal semalam sebelum aku terlelap tidur, aku sembunyikan jam weker itu di bawah bantal. Selalu saja Ayah tahu, dan akan Ayah pindahkan. Bodo amat ah, aku malas bangun. Masih ngantuk. Tapi lama-lama semakin mengganggu saja suara nyaringnya. Ini sempurna membuat kantuk ku hilang—memang, tapi berubah menjadi kesal.
Aku menyerah. Aku memaksa badanku untuk bangkit akhirnya. Aku menyibak selimut, dan duduk di ranjang. Beberapa detik aku menatap jam weker kuning itu. Ingin rasanya melemparnya dengan bantal. Dengan rasa kesal, dan malas, aku turunkan egoku. Aku beranjak dari tempat tidurku, berjalan menghampiri jam weker itu.
“Teteh! Langsung ke kamar mandi, Teh. Ambil air wudhu,” seru Ayah di ruang tengah, menyadari jam weker di kamarku berhenti berdering. Artinya aku sudah bangun.
Aku memutar bola mataku ke atas—sedikit sebal pada Ayah. “Iya, Yaaah,” sahutku malas.
Aku menyibak gorden yang menutupi ruang kamarku. Ya, hanya tirai gorden sebagai penutupnya di setiap kamar di rumah ini. Ada tiga kamar. Kamarku, kamar Ayah, dan Ibu. Lalu kamar Kakak, yang tidur berdua dengan adik laki-laki ku. Usianya baru 11 tahun.
Ayah fokus duduk di sofa yang sudah tidak bagus dilihat mata. Memakai kaca mata, Ayah fokus menggeser-geser layar ponselnya. Entah sesuatu apa yang Ayah perhatikan di sana?
“Ibu kamana, Yah?” tanyaku setelah memeriksa kamar Ibu.
Ayah bergeming. Matanya masih fokus pada layar ponsel di tangannya. Keningnya berkerut, kepalanya menunduk, matanya memicing tampak berusaha keras melihat sesuatu yang kurang jelas. Ayah diam saja. Aku menarik bibir, berlalu ke kamar mandi.
Rumah ini memang tidak besar, tapi tidak juga terlalu kecil. Lapisan seluruh fondasi dinding rumah, baru-baru ini Ayah ganti dengan tembok. Awalnya hanya memakai dinding anyaman bambu. Atau kami biasa menyebutnya bilik. Apapun lah itu namanya.
Kamar mandi di rumah ini hanya satu tentunya. Beruntungnya setelah aku masuk remaja, Ayah menutup ruang kamar mandi dengan tembok. Awalnya tempat kamar mandi kami berada di luar. Artinya terpisah dari bangunan utama rumah. Dan waktu dulu, kamar mandi kami tidak punya atap, jika hujan turun, berabe sudah.
KAMU SEDANG MEMBACA
Dissmalta
Подростковая литератураSore ini langit terlihat begitu cantik. Kawanan burung terbang beriringan tampak begitu rapi. Hinggap satu, hinggap semua. Entah yang mana di antara mereka yang ditunjuk sebagai pemimpin. Mungkin tidak ada yang memilih, dan tidak ada yang dipilih. H...