Tidak bernilai

7 6 2
                                    

Jika dalam keadaan ini kamu tidak menemukan bahagia, kenapa tidak mencoba untuk mencarinya keluar? Barangkali, disana kamu bisa menemukan hal itu.

Dilara membuka kedua matanya dari yang semula terpejam. Didalam kamar yang cukup luas, di lantai dua rumah adalah kamar Dilara.

Ya, disana adalah tempat dimana Dilara biasa menghabiskan waktunya selepas pulang sekolah untuk sejenak rehat. Dilara merasa bosan. Ruang obrolannya penuh dengan notif grup chat SMAnya, OSIS dan ekskul menulis.

Ah membosankan. Tidak ada satupun chat masuk dari teman atau siapapun!
Sudah satu bulan dari semenjak ibu Dilara meninggal.

Rasanya masih sangat kesepian, mencoba untuk mengisi waktu kosongnya dengan bermain game atau membaca buku di gramedia tapi tetap saja. Malah justru hal menyakitkan ia temukan.

Dilara tak sengaja melihat ayahnya dan seorang wanita berpakaian formal sedang jalan berduaan bahkan sambil bergandengan tangan, itu kejadiannya di mall. Bahkan mereka terlihat sangat akrab, tertawa hingga... bergandengan?
Lelucon macam apa itu?!

Saat itu pun Dilara berteriak melengking ditengah keramaian mall. Memanggil nama sang ayah dengan sebutan. "PAPA GILA!"

Ya, hal konyol pernah Dilara lakukan. Dan itu adalah salah satunya.

Kok tega, baru saja satu bulan ibunya meninggal lalu kemudian papanya menggandeng wanita lain dalam waktu tak kurang dari itu?! Benar-benar tidak masuk di akal.

Setelahnya sang papa pun menjelaskan panjang lebar.

"Dengar dulu Ra, papa melakukan ini semua juga buat kamu. Papa mencari mama baru juga buat kamu, supaya hidup kamu lebih terarah lagi. Dan juga supaya kamu enggak kesepian."

"Enggak logis! Kenapa papa malah cari mama baru, bukannya teman buat Lara kalau begitu? Kalau hanya karena alasan itu, Lara juga bisa urus diri sendiri! Lara udah gede, bukannya masih bocah! Yang teman aja harus dicariin sama mama baru!" tandas Dilara.

"Iya papa tahu. Papa ngerti semua itu. Tapi---" belum selesai bicara Dilara sudah berkata lagi.

"BILANG AJA PAPA UDAH ENGGAK CINTA LAGI SAMA MAMA, SATU BULAN PAH! BARU SATU BULAN MAMA MENINGGAL, KENAPA PAPA DENGAN TEGA BILANG KAYAK GITU? JANGAN SEMUDAH ITU MENJADIKAN HAL KONYOL BEGITU ALASAN! MEMANGNYA PAPA SECEPAT ITU BOSAN SAMA MAMA?!" tandas Dilara tidak memperdulikan dimana dirinya saat itu. Tengah mall. Tengah kerumunan orang. Tidak perduli mau berapa banyak orang menjadikan itu sebagai bahan viral.

"Ra.."

"PAPA PERNAH BILANG KALO PAPA SANGAT MENCINTAI MAMA, KENAPA SEKARANG KATA-KATA ITU ENGGAK ADA LAGI? AKU ENGGAK NYANGKA! SELEPAS MAMA BERPULANG, SECEPAT ITU PAPA BERUBAH PIKIRAN!" tandas Dilara.

Shanice segera menyabarkan Dilara, akan tetapi dirinya malah justru menepis tangannya itu.

"MENCOBA MENGAMBIL HATI SAYA HEH? ANDA BERNIAT MENCARI KEUNTUNGAN KAN DALAM HAL INI?! SUPAYA SAYA BERADA DI PIHAK ANDA BEGITU?" tandas Dilara.

"RA! KAMU NIH, JAGA BICARAMU!" tandas Danu.

"PAPA APA PERNAH NGERTIIN PERASAAN RA! PAPA CUMA MIKIRIN PERASAAN PAPA SENDIRI!"

Perkataan itu adalah alasan pasti kenapa tiba-tiba tangan besar itu melayang cepat lalu menampar pipi anaknya sendiri. Danu menampar keras Dilara, ditengah banyak orang yang menonton.

Didepan wanita yang disebutnya sebagai kekasih barunya.

Esok harinya Dilara di kurung tepat didalam kamarnya. Tanpa makan dan minum. Tidak masalah. Dilara sudah terlanjur kesal, benci dan terlampau muak dengan perlakuan ayahnya.

Didalam sana Dilara menangis, membekap wajahnya dengan bantal selama berjam-jam. Ia menulis didalam diary berwarna birunya.

"Mah... Papa lagi-lagi melanggar perkataannya. Katanya papa mencintai mama dulu, tapi sekarang cintanya sama mama udah diganti sama orang lain. Secepat itu papa berubah pikiran, secepat itu papa mengganti mama dengan orang lain. Bahkan Lara sampai ditampar ma... sama papa, didepan banyak orang. Lara cuma kecewa kalo posisi mama digeser sebegitu cepat, seakan-akan mama enggak bernilai apa-apa dimata papa."

Esok paginya Danu membuka pintu kamar Dilara. Disana ia mendapati Dilara sedang tertidur dengan wajah dan rambut kusut, sepertinya dia menangis semalaman.

Bahkan kini wajah yang kusut itu menghadap ke arahnya, ia sudah terbangun meski tatapan tajam mengarah kepadanya.

Danu balik berkata. "Mau ditambah lagi hukumannya?" tanya Danu. Dilara langsung mendengus dan melempar Danu dengan bantal, guling, boneka dan semacamnya.

Danu tidak mau kalah. "Oh yaudah, papa tambah masa kurungannya." ucap Danu segera pergi keluar dan kunci kamar itu secepatnya.

Dilara ngamuk, ia pukul-pukul kasur dan nungging diatas kasurnya, peluk selimutnya. Merasa bodoh. Perutnya kelaparan parah. Cacing bahkan sudah bernyanyi dan melakukan paduan suara saat ini. ARGH!

Danu yang sudah siap akan pergi ke kantor menitip kunci pada bi Inem. "Bi, ini kunci kamar Dilara ya? Tolong buka pintu kamarnya sekitar satu jam dari sekarang. Kasih dia makan dan minum. Sejak kemarin soalnya saya kurung." ucap Danu.

"Ya Alloh, kasian banget dari kemarin. Emang ada masalah apa Tuan?" tanya Bi Inem.

"Biasalah, ngambek." ucap Danu seraya pamit pergi. "Yuk Bi, titip rumah." ucapnya. "Iya Tuan." ucap Bi Inem. 
Hari ke hari setelahnya, Dilara sering melihat ayahnya jalan bersama dengan Shanice.

Dilara juga sering berdebat dengan ayahnya perihal ini, tapi ayahnya justru menepis semua perkataan itu dengan mengatakan jika wanita itu sangat mirip dengan ibu, sangat baik, sangat cocok untuk dijadikan pengganti ibunya, sangat ini dan itu.

Terlebih beberapa kali sepulangnya bekerja, Shanice selalu mampir ke rumahnya.

Memperkenalkan pada Bi Inem kalau Shanice adalah calon istri barunya. Saat itu hati Dilara kembali sakit ketika mendengarnya. Ia langsung turun dari tangga.

"POKOKNYA LARA ENGGAK SETUJU PERNIKAHAN ITU!" tandas Dilara.
Danu melempar tawa sinis. "Memang kamu siapa larang-larang papa ha?!" tandas Danu.

"AKU ANAK PAPA! YAUDAH KALO PAPA TETAP AKAN MENIKAH DENGAN PEREMPUAN ITU! LEBIH BAIK AKU PERGI DARI RUMAH!" tandas Dilara langsung pergi ke kamar. Danu membalas cepat.

"BOLEH! SILAHKAN KAMU MAU PERGI KEMANA JUGA! MEMANG PAPA PERDULI!" tandas Danu.  

Dilara mendengarnya lalu membanting pintunya keras dan menguncinya. Ia menyerosotkan dirinya ke pintu lalu menangis.

"Kenapa ya... aku merasa benar-benar tidak bernilai... aku merasa tidak ada gunanya berada di rumah ini..."

"Aku hanya khawatir jika setelah papa menikah nanti, aku akan berakhir... dianaktirikan... disamping itu aku juga kecewa... kenapa papa seperti ingin melupakan mama secepatnya?"     

Tengah malamnya Dilara terbangun. Dirinya kembali menangis mengingat semua perlakuan ayahnya selama ini dan terkait keinginannya untuk menikah lagi dengan wanita itu. Dilara membuka akun sosial medianya.

Tiba-tiba dirinya melihat sebuah quotes dari sebuah fanpage yang sangat dikaguminya. Nama fanpage itu adalah Walter. Sebuah fanpage yang isi statusnya dipenuhi oleh banyak quotes dan kata mutiara.

Saat itu, secara kebetulan quotesnya muncul dan ia baca. "Jika dalam keadaan ini kamu tidak menemukan bahagia, kenapa tidak mencoba untuk mencarinya keluar? Barangkali, disana kamu bisa menemukan hal itu."

Dilara termenung dengan quotes itu. Air matanya yang semula jatuh menetes kini berhenti. Ia jadi termotivasi untuk melakukan sesuatu sekarang.

Teruntuk DanielTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang