"Jangan-jangan kau penduduk pindahan?" Pria itu memicingkan mata.
Lea langsung tertawa dengan suara berat yang dibuat-buat, "ha-ha-ha, iya, maaf aku memang warga pindahan. Aku belum terlalu kenal dengan pejabat di wilayah ini. Tadi itu aku hanya membual saja."
"Oh iya, siapa namamu tuan?" Tanya Lea untuk mengalihkan topik pembicaraan.
"Namaku Pieter." Leo terseyum. "Aku tidak bisa menggunakan nama Leo, jika dia tau aku anak pejabat dia pasti sungkan padaku, ini kesempatanku memiliki teman yang tulus."
"Oh Pieter, senang bertemu denganmu Piet." Lea menggenggam tangan Leo lalu mengayunkannya ke atas dan ke bawah.
Saat mereka asyik berbincang, pria yang tadi masuk bersama Lea lewat dengan wajah penuh luka lebam, bahkan masih ada darah segar di sudut bibirnya. Lea mengerutkan kening menatapnya. Pria paruh baya itu berjalan menunduk sambil terus menarik gerobaknya, menghindari kontak mata dengan Lea.
"Tuan, kau kenapa? Wajahmu kenapa?" Lea menghampirinya dengan perasaan cemas. Pria itu melirik ke arah Leo yang berdiri tak jauh di belakang Lea, ia sudah sering datang ke sana jadi sangat mengenal siapa pria yang bersama Lea tersebut, ia kembali menundukkan kepala.
"Tidak apa-apa, aku harus pergi. Kau segeralah kembali" sahutnya dengan nada bicara semakin melemah di akhir. Dengan tubuh gemetar pria itu bergegas pergi meninggalkan Lea yang masih kebingungan.
Leo berjalan menghampiri Lea lalu menepuk bahunya.
"Kau mengenal petani dari Exortus itu?"
Lea tersentak lalu menoleh, "bagaimana kau tau dia dari sana?"
"Tidak ada yang berprofesi sebagai petani di sini, semua lahan pertanian sudah tidak ada lagi karena sudah diubah menjadi pabrik dan gedung-gedung lain."
"Ada yang aneh." Lea mengedarkan pandangannya, kebetulan lokasi mereka saat ini adalah di tengah-tengah pasar. "Lalu dari mana asal sayur dan buah-buahan itu?" Gumamnya pelan.
Tiba-tiba, Lea mengingat kejadian panen tahun-tahun sebelumnya.
Hari itu, tepat tiga hari setelah panen, sebagai salah satu pemilik lahan pertanian yang cukup luas, Lea heran orang tua nya sudah hampir kehabisan bahan pangan di hari ketiga panen. Padahal hasil panen Exortus setiap tahunnya selalu melimpah ruah. Jika dijual harusnya mereka memiliki cukup uang untuk membeli bahan makanan lain seperti ikan atau daging, tapi tidak. Hampir tidak pernah Lea melihat ada daging di meja makannya, paling hanya ikan itu pun yang paling murah.
Lea masih ingat betul percakapannya dengan ibu dan ayahnya hari itu.
"Maafkan kami ya Le, hari ini kita hanya makan dengan lauk secukupnya, hasil panen kita tahun ini sedikit."
"Tak apa ayah. Tapi ayah, bukankah hasil panen kita?"
"Lea, cepat habiskan makananmu! Jangan bicara saat makan. Ayah juga."
"Baik bu."
Tiba-tiba sebuah tangan besar kembali hinggap di bahu kanan Lea, membuatnya tersentak sekali lagi.
"Kenapa kau melamun? Kau mengenal pria tadi?"
"Maaf, aku hanya teringat orang tuaku. Oh? Tidak, aku tidak mengenal pria itu, aku hanya merasa iba melihat luka seluruh wajahnya."
Leo mengangguk. "Begitu rupanya."
"Aku tidak bisa kembali sekarang, aku harus mencari tahu sesuatu. Emily, maaf. Aku akan segera kembali begitu pertanyaanku terjawab." Lea membatin sambil menatap kosong ke arah perbatasan.
"Pengumuman! Pengumuman!" Tiba-tiba beberapa prajurit berkumpul di tengah-tengah pasar sambil berteriak. Salah satu dari mereka berdiri paling depan dan membuka sebuah gulungan kertas yang dibawanya. Lalu membaca isi yang tertulis di sana.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITHFUL
Historical FictionKisah cinta tentang dua insan yang berasal dari dua wilayah yang bermusuhan sejak lama. Leo yang berasal dari wilayah penjarah, bertemu dengan Lea yang tinggal di wilayah jarahan. Keduanya dipertemukan oleh ketidaksengajaan dan terlibat kisah asmara...