"Ini akan menjadi gerbang masukku ke Occidens" Lea mengeluarkan sesuatu dari kolong tempat tidurnya, lalu memasukkan benda itu ke dalam tas. Setelah itu ia keluar kamar dengan mengendap-endap.
"Le? Mau kemana pagi-pagi seperti ini?" Sayangnya perbuatan Lea itu diketahui sang ibu. Tepat saat Lea memegang kenop pintu hendak keluar, ibunya keluar dari kamar.
Lea menoleh lalu tersenyum dan bersikap sesantai mungkin agar tak menimbulkan kecurigaan, "ibu? Lea mau pergi menemui teman-teman. Kami sudah janjian bertemu di alun-alun."
Ibu memicingkan mata menatapnya curiga, "kamu tidak sedang berusaha mengelabui ibu, kan?"
"Ibu boleh ikuti aku kalau mau" Lea tersenyum lebar.
"Baiklah, ibu percaya. Kamu boleh pergi. Dan kembalilah saat jam makan siang."
Lea mengangguk semangat lalu pergi dengan ransel hitam di punggungnya.
Gadis itu tidak sepenuhnya berbohong, karena tujuan pertamanya memang alun-alun tempat ia dan teman-temannya biasa berkumpul.
"Kau bawa apa Le?" Tanya seorang gadis kepang dua seusia Lea.
Lea melirik ranselnya sebentar lalu menurunkannya dari punggung. Ia mengeluarkan benda yang ia masukan ke dalam tas tadi.
"Untuk apa kau membawa celenganmu ke sini?"
"Emily, kau tidak akan mengerti meski aku menjelaskannya."
"Halah, palingan itu untuk pergi ke sana, kan?" Tebak Tyo tepat sasaran. "Semua yang dilakukan Lea kan memang semata-mata cuma untuk mencapai Occidens. Entah apa yang menarik dari kota yang dipenuhi gedung-gedung tinggi itu."
"Kalau iya kenapa? Kau mau ikut, hah?" Lea melirik sinis lalu meletakan celengan berbahan tanah liat miliknya di bawah dan memecahkannya menggunakan batu yang ada di sekitar situ. Lea memukul celengannya beberapa kali hingga terbentuk lubang yang cukup untuk memuntahkan isi di dalamnya.
"Wah, banyak sekali" seru Emily kagum. "Kalau dibelikan roti, akan bisa berapa banyak ya?"
"Apa rencanamu dengan uang sebanyak itu?" Tyo kembali buka suara.
Lea menoleh, "kau tidak perlu tau."
"Cih, aku yakin rencanamu kali ini akan gagal lagi seperti yang sudah sudah."
Tak mau meladeni Tyo, Lea sibuk memasukkan uangnya ke dalam tas lalu membersihkan pecahan celengannya dan membuangnya ke tempat sampah.
"Kalian berdua, jangan ada yang mengadu pada ayah atau ibuku ya! Kalau mereka mengetahuinya, itu berarti salah satu dari kalian yang membocorkan. Awas kalian!" Lea memperingatkan kedua temannya lalu pergi ke arah utara.
Selepas kepergian Lea, Emily berkata, "firasatku tidak enak, apa sebaiknya kita mengadu pada nyonya Raffles?"
"Sebaiknya jangan, Lea itu keras kepala. Jika kita menentangnya ia tak akan suka."
Tyo menatap arah pergi Lea lalu menambahkan, "kita berdoa saja semoga Lea selalu dilindungi dari segala bahaya."
"Iya, semoga." Sahut Emily masih cemas.
Lea tiba di sebuah toko penjual barang-barang antik dan peralatan sulap. Saat Lea mendorong pintu toko, lonceng di atasnya berbunyi. Toko itu berada cukup jauh dari pemukiman warga dan jarang dikunjungi orang di hari biasa seperti sekarang ini, toko tersebut hanya ramai di hari-hari tertentu atau saat ada perayaan saja.
"Selamat datang, cari apa?" Seorang pria setengah baya bertanya dengan ramah. Ia adalah pemilik toko itu.
Lea menghampiri pria itu lalu menyampaikan maksud dan tujuannya mampir, "tuan, aku mencari ...." Lea mendekatkan wajahnya pada pria itu lalu membisikkan sesuatu yang dicarinya.
KAMU SEDANG MEMBACA
FAITHFUL
Ficción históricaKisah cinta tentang dua insan yang berasal dari dua wilayah yang bermusuhan sejak lama. Leo yang berasal dari wilayah penjarah, bertemu dengan Lea yang tinggal di wilayah jarahan. Keduanya dipertemukan oleh ketidaksengajaan dan terlibat kisah asmara...