Petrichor

1 0 0
                                    

Aku tidak pandai menyembunyikan lara.

Tapi aku pun tak cakap mengutarakan luka.

Aku hanya terbalut kecewa.

Plak!!!

Terik matahari yang membakar hamparan bumi terasa lebih panas dari sebelumnya. Tak hanya itu, ada dua permukaan yang juga terasa panas akibat satu tamparan. Telapak tangan seorang perempuan dengan penampilan yang teramat kacau dan pipi kanan seorang laki-laki yang saat ini tersungkur di teras rumahnya sendiri.

"Ya, aku bakal ceritain semuanya ke kamu. Aku bakal jujur," pinta lelaki itu pada seseorang yang berdiri di hadapannya dengan tatapan nyalang.

"Kita-putus, Fan." Tegas perempuan itu di setiap katanya.

Lelaki itu bangkit dan berusaha meraih genggaman tangan sang wanita.

"Aku serius bakal jelasin semuanya ke kamu," lagi-lagi dirinya meminta.

"Apa lagi yang perlu dijelasin?! Semua udah jelas! Semua udah aku liat sendiri. Aku nggak buta, Fan. Aku nggak buta!!"! balasnya dengan teriakan dan terus melepaskan genggaman tangan seseorang yang akan segera menjadi mantan pacarnya itu.

"Aya! Aku tau kamu marah besar sama aku. Tapi dengerin dulu cerita dari aku!" tanpa sadar, lelaki itu pun turut berteriak kepada wanita yang bernama Aya ini.

"Apa, hah?! Kamu mau jelasin apa?" tantang Aya.

"Aku dijebak sama anak-anak Black Sky." Jawaban itu membuat Aya tertawa terbahak-bahak sampai tangisan yang semula membuat pipinya tergenang sudah hilang dan mengering dengan sendirinya.

"Persetan sama geng kamu! Persetan sama semua urusan-urusan kamu yang nggak masuk akal itu!!! Kita tetep putus!" Aya dengan cepat berbalik untuk meninggalkan lelaki itu tanpa perlu menunggu jawaban darinya.

Namun, bak drama di FTV, lelaki itu kembali menghadang dirinya dan memegang pundaknya hanya untuk menatap kedua manik hitam yang sembab itu.

"Aku sayang sama kamu, Zayana. Aku serius," kali ini matanya berkaca-kaca. Tapi demi apa pun, Zayana tidak dapat melihat ketulusan yang tersirat dari sana. Zayana menatap kehampaan. Kebohongan, lagi, seperti hari-hari lalu yang dengan bodohnya sangat mudah ia maafkan.

"Aku nggak percaya, lagi." Segera ditepis cengkraman di pundaknya itu dan berlari keluar pagar rumah lelaki yang baru saja resmi menjadi mantan pacarnya itu.

Sambil berjalan entah menuju ke mana, dalam dada Zayana terasa sakit. Bukan di jantung, bukan juga bagian pernapasan. Hanya dalam dadanya, yang entah itu di mana. Nyeri, ngilu. Dan dari sanalah air matanya kembali terdorong keluar. Dirinya kembali meratap meski beberapa sorot mata tampak memperhatikannya dengan bingung sekaligus prihatin.

Tepat saat dirinya sampai di sebuah halte, yang biasa disinggahi sambil berpamitan dan mengatakan sampai jumpa lagi kepada Fandi, taksi berwarna biru langit berhenti di depannya seolah mendukung untuk segera saja meninggalkan semua yang ada di belakangnya, termasuk kenangan. Tanpa pikir panjang, Zayana masuk dan segera menyandarkan segala beban yang bergemuruh dalam dirinya.

Jakarta yang panas, selaras dengan gejolak dirinya. Jakarta yang kelewat ricuh, tak jauh beda dari akalnya saat ini. Zayana benar-benar merasakan kepalanya pusing dan akan pecah saat taksi yang ditumpanginya sengaja diberhentikan di tengah perjalanan.

Bukan tanpa alasan hal itu dilakukannya. Saat di dalam taksi tadi, Zayana menatap langit dibagian utara tampak bersedih dan mungkin hampir menangis. Tanpa pikir panjang, ia meminta kepada sang supir untuk berjalan ke mana pun tempatnya asalkan menuju mendung yang tampak mengundangnya.

Dan di sinilah dirinya, menatap langit yang sejak tadi ia tunggu tangisannya sambil menopang tubuhnya yang terasa lebih berat beratus kali dari sebelumnya. Zayana tidak ingin langit di atas menangis seorang diri meski nyatanya ia terhampar luas dan banyak gumpalan awan yang menyumbangkan air mata tanpa pamrih.

Secepat ini cuaca berganti. Entah matahari yang setuju begitu saja untuk diganti, atau awan kelabu yang dengan tak tahu diri menaungi bumi. Satu tetes, Zayana bisa merasakan pilunya langit menyentuh kulit kepalanya setelah menerobos beberapa helai rambut. Dan benar saja, selanjutnya awan-awan di atas sana meraung. Zayana begitu bersedia ditumpahi bulir-bulir luka itu. Seolah setiap tetes yang menyapa dirinya, adalah gambaran dari lara yang saat ini dirasa. Ada kecewa, ada cinta, benci, rindu, penyesalan, dan entah apa pun itu, berbaur dan mengalir dalam darahnya hingga tubuhnya lemas.

Saat kedua lututnya bersimpuh, saat itu tangisannya tak dapat lagi terbendung. Bahkan mungkin, air hujan pun tak mampu menutupinya. Kenangannya bersama Fandi, bagaimana lelaki itu selama ini melindunginya, saat lelaki itu menjadi sangat manja padanya, saat pertama kalinya Fandi membohonginya tapi dengan cinta yang buta itu, dengan mudah ia maafkan. Dan untuk yang baru saja terjadi, lelaki itu meruntuhkan kepercayaannya. Dengan satu sebab yang tak pantas untuk dimaafkan, lagi.

Petrichor, untuk ini Zayana datang di bawah mendung yang memisahkan dirinya jauh dengan tempat tinggalnya. Begitu damai, nyaman dan hangat. Walau rekaman dirinya saat ini sedang terguyur hujan dan tidak ada naungan teduh yang menutupinya. Secinta itu Zayana pada hujan, sedamai itu dirinya diselimuti petrichor.

Petrichor (Lee Jeno)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang