Eccedentesiast

0 0 0
                                    

Aku percaya, apa pun itu, selalu ada rasa di setiap masa.

Seperti saat satu musim aku merekahkan suka hingga ke ufuk senja.

Begitu juga satu masa aku ditemani duka hingga pekat malam tiada terasa.

Baru saja Zayana membuka mata, suara pintu sudah diketuk begitu keras. Andai dirinya tidak langsung membalas dengan teriakan, sudah pasti akan ada lubang di tengah daun pintu itu.

"Astagaaaa. Sabar! Nyawanya belum semua masuk, nih!" saking berisiknya, Zayana sampai membentak oknum tersebut.

"Ya gue cuma di suruh Ayah. Nggak usah ngegas juga!" suara berat khas remaja puber itu dari balik pintu.

Tepat saat iqomah selesai berkumandang, Zayana turun dari ranjang dan menuju dapur untuk mengambil segelas air.

"Nggak ikut ke masjid lo?" tanya laki-laki yang sedang buru-buru mengenakan sarung warna coklat bergaris abu-abu.

"Udah mulai shalat gitu, baru lo bangunin." Gerutu Zayana.

"Heh, gue bangunin elo dari sebelum azan, ya!"

"Ya, udah. Sono berangkat," Zayana bangkit dari duduknya dan mendorong lelaki itu.

"Ya, ampun! Batal wudhu gue," protes remaja bersarung itu.

"Kita kakak adik, bego." Zayana mengambil wudhu dan segera menunaikan shalat subuh. Karena jika tidak dilakukannya dengan segera, biasanya dirinya memilih untuk meraih mimpi. Bersama bantal dan gulingnya.

------------------------------------------------------

"Kenapa Minggu itu cuma sekali, sih?" Interupsi dari gadis kecil itu mengundang tawa pria dewasa yang ada di meja makan bersama teh hangat dan roti selai kacang.

"Karena nggak dua kali,"

"Bang Aji!" protesnya.

"Udah, sih, buruan sarapan terus berangkat. Nanti terlambat," Zayana yang membantu bunda menyiapkan sarapan pagi ini, membawakan semangkuk opor ayam yang masih hangat.

"Aku dianter Bunda?" tanya gadis kecil tadi.

"Sama Ayah aja, ya. Bunda mau langsung ke kantor, sayang."

Ayah tersenyum untuk menenangkan sedikit kekecewaan Lira, putri bungsu keluarga Sodiqin. Orang bilang, senyum itu diturunkan kepada Zayana. Meneduhkan, hangat dan manis. Sebenarnya, Zayana tidak sering bercermin memperhatikan senyuman miliknya, tapi dia selalu menyukai senyuman ayah.

"Yah, aku tetep nggak boleh bawa motor? Aku kan udah kelas 2 SMP, Yah," pinta Aji pada ayah. Aji adalah anak tengah dan hanya dirinya anak laki-laki di keluarga ini. Tak heran jika manjanya hampir sama dengan si bungsu.

"Anak SMP belum 17 tahun, nggak usah macem-macem. Gue diizinin bawa motor aja pas udah masuk SMA, enak aje lu." Bukan ayah yang menjawab, tapi Zayana.

"Ya, Kakak kan cewek. Wajar, lah, Ayah nggak bolehin." Aji menjawab sewot.

"Nanti kalo udah waktunya juga dikasih bawa motor, kok, Bang." Bunda yang sudah selesai dengan peralatan dapur ikut bergabung di meja makan.

"Malu, loh, kalo dianter Kak Aya. Mending dianter Ayah," protesnya.

"Sok atuh. Gue keringanan banget kalo elo nggak bareng lagi sama gue," Zayana dengan senang hati melepas penumpang setianya itu.

"Udah, ah. Ributin itu mulu perasaan nggak ada abisnya," ayah menutup koran dan mulai mengambil piring untuk mengawali sarapan pagi ini.

------------------------------------------------------

Bel pulang berdering. Semua siswa berhambur untuk segera kembali pada persinggahan mereka. Saat itu, Zayana tengah sibuk menata kursi yang lumayan berantakan akibat ulah teman-temannya. Sampai suara ketukan pintu mengalihkan atensinya.

Petrichor (Lee Jeno)Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang