Bab Dua - First and Last Interaction.
-----
Raine mengembuskan napas kasar saat mendadak terbangun karena mendengar suara gaduh yang berasal dari ruang tamu kontrakannya. Dia menendangkan kakinya ke atas, seolah sedang menendang angin karena rasa frustasi yang dialaminya saat ini. Efek karena terbangun secara mendadak membuat kepalanya jadi terasa pening dan pasti akan berakhir migrain.
"Bisa nggak sih orang tua itu kalo pulang nggak bikin orang lain kesal?" gerutunya kepada diri sendiri. Tetapi meski begitu, Raine tetap bangkit dari ranjangnya dan melangkah keluar kamar.
Benar dugaannya. Dia melihat ayahnya tergeletak tidak sadarkan diri di samping sofa reot di ruang tamunya dengan sebotol minuman keras ditangan kanannya. Raine menggerakkan kakinya menyentuh paha ayahnya, tidak sampai menendang karena separah apapun kelakuan ayahnya, Raine nggak mungkin sekurang ajar itu. Dia hanya mencoba memastikan apakah ayahnya sudah benar-benar teler apa belum.
Raine nggak ingin ambil resiko dengan menyeret ayahnya yang belum terlalu teler dan masih setengah sadar, karena pengalaman sebelum-sebelumnya yang membuat kepala bahkan tangan Raine terluka akibat pukulan dari ayahnya secara tidak sadar.
Tetapi untung saja dini hari ini ayahnya sudah benar-benar teler hingga Raine bisa dengan mudah menyeret tubuh ayahnya ke dalam kamar. Jika orang lain akan berolahraga di pagi hari, at least pukul enam pagi, Raine malah pukul satu dini hari. Hal tersebut bahkan sangat repetitif, hampir setiap hari Raine lakukan, secara berulang-ulang.
"Gue tau lo curang ya bangsat!"
"Duit gue sisa seratus ribu. Terakhir kali, abis ini gue mau balik!"
"Curang lo semua! Gue tau kalian nipu gue kan! Balikin duit gue, Anjing!"
Raine tidak menghiraukan racauan demi racauan yang terlontar dari mulut laki-laki berkepala empat tersebut. Dia hanya memutar mata malas kemudian menutup pintu dengan kasar hingga menghasilkan bunyi yang lumayan keras. Nggak peduli jika laki-laki yang membuatnya kesal saat ini akan terlonjak kaget.
"Hobi kok judi. Nggak keren banget!" cibirnya kesal dan melangkah kembali ke kamarnya namun sama sekali nggak bisa memejamkan mata. Rasa kantuknya sudah menguap entah kemana. Padahal pagi ini ada yang harus dia kerjakan sebelum berangkat ke sekolah.
Jika anak seusia dirinya menghabiskan waktu dengan ayah mereka melalui quality time seperti mengobrol di meja makan, membicarakan perihal sekolah dan cinta monyet yang sedang dialami, lain halnya dengan Raine. Dia menghabiskan waktu setiap dini hari dengan menyeret ayahnya yang sedang teler karena mabuk minuman beralkohol ke kamarnya.
Tetapi setidaknya dua bulan ini Raine bisa bernapas lega. Bebannya hanya tersisa ayahnya saja. Ibunya diam-diam pergi dari rumah meninggalkannya bersama dengan laki-laki paruh baya yang sama sekali nggak memiliki kualifikasi sebagai suami dan ayah yang baik serta bertanggung jawab. Sebetulnya Raine sedikit marah, pasalnya ibunya lari seorang diri dan malah membiarkannya terjebak seumur hidup dengan laki-laki tua tersebut.
KAMU SEDANG MEMBACA
Tulisan dari Semesta
Teen FictionRaine Zevannya, penulis fiksi remaja dengan nama pena @tulisansemesta tidak pernah berharap apa yang ia tulis menjadi sebuah kenyataan. Hidupnya sudah menyedihkan sedari kecil bak Cinderella, memiliki ibu tiri kejam yang tega meninggalkannya dengan...