Banyak kepala berbondong-bondong memasuki rumahku. Raut wajah mereka tampak tidak baik, percampuran antara ketidak percayaan dan kehilangan.
Aku berusaha abai. Sungai air mata yang kupunya sudah kering dan yang bisa kulakukan hanya berjalan ke teras.
Aku lupa menunduk, karenanya ekspresi-ekspresi iba hampir bersamaan menoleh ke arahku.
Tiba-tiba saja ada tubuh yang menabrakku, tangan yang memelukku dan suara histeris yang kubenci terdengar nyaring.
"Mir, turut berduka cita yaaaa."
Usiaku baru delapan. Belum ada skill apapun yang kukuasai termasuk berpura-pura.
Tangisan yang mengiringi ucapannya spontan menciptakan genangan di pelupuk mataku. Sungaiku ternyata belum sekering itu.
Seketika saja tangisan kami berdua pecah. Tangisan dua anak kecil yang masih terlalu dini untuk merasakan sakitnya sebuah kehilangan.
------
"Yang sabar ya, Mir."
Mereka berkata padaku untuk sabar dan tabah, tapi lupa jika aku masih delapan tahun. Masih sangat butuh kehadiran Mama dalam tumbuh kembangku.
Seringnya usapan di pundakku dari tangan siapa saja yang berpapasan denganku tidak akan merubah segalanya.
Mama pergi, lalu esok dan seterusnya bagaimana?
Ini hanya mimpi kan, Ma?
Jika iya maka terlelap akan menjadi hal yang paling kubenci.