Bab 18

1.8K 213 11
                                    

"Ibu anda mengalami depresi berat akibat kehilangan anaknya. Saya akan resepkan obat. Tolong juga jangan biarkan ibu anda sendirian. Minim ada satu orang yang menemaninya."

Itukah diagnosa yang dokter ucapkan. Depresi berat karena kehilangan Ares diperparah dengan tidak adanya support sistem yang apik. Hera mengusap rambutnya dengan kasar. Ia hampir menjedotkan kepalanya pada tiang rumah sakit kalau tidak mau disangka salah satu pasien gangguan mental.

Dokter belum menyarankan Bella untuk dirawat. Ibunya masih dapat ditangani dengan berobat jalan. Lama-lama ibunya akan mampu mengatasi kesedihannya, kehilangannya namun sampai kapan? Tanpa sang ayah keluarga mereka yang hancur tak dapat di sangga.

Ketika Hera datang ke kantor sang ayah, sekretarisnya mengatakan kalau Rudolf ada pertemuan penting dengan investor sehingga tidak dapat diganggu. Hera kini lelah, lelah tenaga dan pikiran. Pundaknya harus dilebarkan jika tak ingin ambruk. Masih ada Helen yang perlu ia pikirkan dan Juan, yang berjanji tidak akan meninggalkannya lagi.

Maka ia putuskan untuk pergi ke sini, menikmati semilir angin yang ditiupkan pohon kamboja. Hera sendiri, mau mengadu atau sekedar menempatkan sebuket bunga mawar merah jambu, kesukaan Ares. Dia berdoa, mengelus nisan itu rencananya tapi setelah sampai ke sebuah nisan persegi panjang yang ditumbuhi rerumputan. Ia terpaku, ada seseorang yang mendahuluinya.

"Cakra?"

Yang punya nama mendongak lalu berdiri. Ia lebih dulu memberi nisan Ares dengan sebuket bunga Lily.

"Lo ke sini juga? Maaf ya gue baru bisa datang hari ini." ucapan itu terdengar santai tapi Hera tahu Cakra juga menyimpan luka atas kepergian sahabatnya. "Lo mau kirim doa kan buat Ares? Gue udah selesai kok."

"Lo bisa gak tunggu gue sebentar. Ada yang perlu gue omongin."

Anggukan dari kepala Cakra sebagai jawaban. Pemuda itu melangkah ke luar tapi Hera yakin Cakra akan tetap menepati janjinya. Hera letakkan bunga bawaannya tepat di atas nisan lalu memanjatkan doa seadanya. Ingin berkeluh kesah seolah tak pantas, makam Ares masih basah. Tidak adil bila menerima tambahan air mata. Toh Ares sudah di alam baka  tak mendengar apa yang dikeluhkan Hera.

Cakra dan Hera memilih duduk di atas bangku dari semen yang ada tepat di depan makam, di dekat penjual bunga mawar dan air kembang.
"Perut lo masih sakit?" Cakra baru sembuh dari luka ditusuk orang.

"Sedikit, selebihnya udah sembuh."

"Maaf ya belum sempat jenguk lo."

"Gak apa-apa kok. Gue juga tahu lo lagi berduka. Justru gue minta maaf. Sebagai sahabat Almarhum Ares, harusnya gue ada di saat terakhir dia."

Jeda tercipta ketika mengangkat tema soal kepergian Ares. Hera agak ragu meski membagi rahasia ini atau tidak. Sebuah rahasia yang mungkin bisa menghancurkan Cakra. Menghancurkan rasa sayang Cakra pada Ares. Cakra akan memandang Almarhum Ares dari sudut pandang yang berbeda.

"Gue tahu kok kenapa lo sampe celaka. Itu ada hubungannya sama adek gue kan?"

"Maksudnya apa ya? Emang gue ketusuk waktu mau bantu Ares. Gue gak pernah nyalahin dia soal itu. Yang gue gak ngerti kenapa Ares malah bunuh diri. Seberat apa masalah dalam rumah lo sampe dia seputus asa itu?"

Tapi alasan yang Cakra kemukakan tidak tepat. "Ares punya alasan sendiri buat memilih jalan itu. Kalau lo tahu yang sebenarnya, lo janji gak bakal nyalahin Ares atau bahkan ngutuk dia di alam sana?"

Cakra mengangguk pelan lalu tersenyum. Senyum teduh, senyum tulus namun Hera setengah yakin senyum itu akan tetap sama setelah Cakra tahu siapa Ares sebenarnya. Hera mengeluarkan buku catatan Ares dalam tasnya. Buku itu tak pernah Hera tinggal di rumah, sebab ia takut salah satu anggota keluarganya akan menemukannya dan kemungkinan besar kasus kematian Ares akan dibongkar paksa. Banyak hati yang harus Hera jaga, aib Ares aman untuk sementara waktu.

"Lihat ini catatan Ares, ini foto kalian kan. Lo gak bakal marah kalau gue tunjukin fotonya."

Mulanya Cakra tersenyum ketika melihat selembar foto itu tapi ekspresinya dengan cepat berubah. Kerutan pada dahinya muncul membentuk beberapa lipatan. Mukanya seolah ditampar oleh kenyataan. "Ini maksudnya apa?" Cakra anak yang cukup pintar.

"Perasaan Ares buat lo yang sesungguhnya. Dia suka sama lo, suka seperti seorang pria naksir perempuan."

"Jadi yang temen-temen bilang itu bener kalau Ares banci, suka ama cowok! Dia homo." Dan Semudah itu pula perasaan Cakra berubah. Hera jadi ragu menunjukkan video sebagai bukti kedua.

Hera harus tenang ia hembuskan nafas seolah-olah sedang latihan pemanasan sebelum berolahraga. "Itu bener. Selama ini orang yang lo anggap sahabat, menganggap lo orang yang spesial di hatinya."

"Her, ini gak mungkin! Ares gak mungkin suka gue!"

"Ini memang sulit diterima Cakra."

Cakra berdiri hendak kabur. Entah bagaimana perasaannya sekarang. Ia jelas tidak bahagia menerima kenyataan. Cakra diliputi perasaan kesal, jijik, tak suka dan bila Ares masih hidup, Cakra tak akan berpikir dua kali untuk menonjok tepat di mukanya. Perilaku Ares tak ada yang aneh. Tak pernah menyentuhnya berlebihan kecuali saat Naik motor. Mengingat itu, Cakra malah mengusap tangannya bergantian seolah sekumpulan semut telah bergerilya di atas kulitnya.

"Kalau ini cara lo buat beecandain gue. Ini jelas gak lucu!"

"Ini perasaan Ares. Hal yang gak bisa dia sampein ke lo. Kalau lo masih penasaran kenapa lo sampai ditusuk. Lo bisa hubungi gue!"

Hera memilih beranjak dari sana. Ia tak tahan melihat kejijikan Cakra. Bagaimanapun juga Ares pernah baik pada pemuda itu. Tapi Hera akan berekspresi sama kalau Ares sendiri yang mengakui saat adiknya itu masih hidup.

"Gue gak perlu informasi apa-apa dari lo. Ibu gue udah suruh orang buat cari orang yang nusuk gue! Mending kita gak ketemuan lagi!" Cakra duluan pergi. Hera melihatnya mengambil motor lalu mengendarainya dengan tergesa-gesa. Semoga anak itu selamat sampai rumah.

Toh apa urusannya jika Cakra celaka dua kali. Hera mencoba acuh lalu memungut foto Yang Cakra lempar.  walau kesalahan Ares fatal tak bisakah Cakra melihat kenangan mereka lebih penting dari itu. Hera lupa, ia hanya berhadapan dengan anak berusia enam belas tahun yang labil serta bercita-cita sebagai petinju.

Ketika berada di pinggir jalan, ponsel Hera berbunyi. Ada panggilan dari Juan, kekasihnya seorang. Hera mengangkatnya dengan segera.

🌲🌲🌲🌲🌲🌲🌲🌲

Cakra egois? Kagaklah ! Reaksinya wajar.

Jangan lupa vote dan komentarnya

Light in my heart Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang