"Kak, tiket udah kamu bawa, kan?"
"Koper kamu selalu di samping, kan?"
"Jangan lupa berdoa dulu sebelum berangkat. Biar selamat."
"AC di dalem bus tuh dingin banget lho, Kak. Jaket tebal kamu yang warna pink gak ketinggalan, kan?"
"Ma... Kakak udah bawa semuanya. Semua yang mama minta udah Kakak ikutin. Jadi mama gak usah khawatir. Oke?"
"Ya, mama cuma mau mastiin aja kalo kamu aman, Kak." jelasnya.
Disti memutar kedua bola matanya begitu mendengar tanggapan mamanya yang amat protektif. Percakapan keduanya lewat telepon genggam selama 30 menit itu terasa menjengkelkan. Baginya, hal yang dilakukan mamanya itu seperti kurang kerjaan, atau nggak lagi bingung gimana ngabisin pulsa internet. Padahal ini bukan perjalanan pertamanya menyusuri antar kota antar provinsi, dengan menaiki bus yang diperkirakan memakan waktu hingga 16 jam.
Ia sudah terbiasa bolak balik pulang kampung sendirian sejak ia pertama kali merantau ke Ibukota untuk kuliah, kurang lebih sekitar enam tahun yang lalu. Dari yang awalnya takut kesasar, sampai dia kelewat berani punya hobi solo traveling. Itulah alasan mengapa dia sebal banget waktu ditelpon mamanya cuma buat diwawancara soal kesiapannya selama berangkat pulang.
Tak lama kemudian percakapan mereka pun berakhir, berkat nama Claudy Adisti dipanggil ke loket untuk konfirmasi tiket keberangkatan.
Tiket yang dipegang tertera nama lengkap Disti plus nomor kursi yang akan ditempati. Bus jenis kelas VIP nomor 6B, tujuan akhir Kota Blitar. Tempat duduk Disti persis berada di tengah-tengah, jaraknya gak terlalu jauh dari pintu masuk, juga gak terlalu jauh dari fasilitas toilet mini.
Ia memandangi selembar tiket itu sambil tersenyum kayak orang yang lagi kegirangan. Karena biasanya, bus yang ia naiki jarang penuh penumpang. Jadi pikiran Disti udah kebayang bakalan bebas mau melakukan apa aja selama berada di bus tanpa harus diganggu penumpang sebelah. Apalagi dia juga sempat dikasih bocoran sama petugas loketnya kalo kursi sebelahnya, nomor 6A kosong. Kursi 6A tempatnya persis di dekat jendela, spot favoritnya Disti kalo lagi perjalanan jauh. Terbesit pikiran Disti ingin menguasai kursi yang kosong itu.
Harusnya sih, gitu.
Semua awalnya berjalan baik-baik aja. Sampai saat Disti yang udah tertidur selama satu jam perjalanan, dalam posisi kaki berselonjor melewati pembatas kursi dan kepala yang bersandar jendela, terpaksa harus pindah ke tempat semula. Dalam kondisi setengah sadar, Disti mendengar samar suara seseorang yang sedang mengajaknya bicara.
"Mbak'e, maaf. Ada penumpang lain yang mau duduk di sini. Silakan duduk ke tempat semula nggih, Mbak." Ujar kondektur bus dengan nada sopan. Logat jawanya kedengeran kental banget.
Persis di belakangnya, ada seorang pria berjaket hitam yang lagi berdiri menunggu. Dipunggunginya ransel besar warna abu-abu kombinasi hitam. Pandangan Disti masih berbayang, hanya menuruti apa kata kondektur tanpa bertanya apalagi protes sana sini. Kemudian ia melanjutkan tidur siangnya.
Tiga jam kemudian....
"ANJIR! Gue ketiduran?"
Sambil membatin, kedua netra Disti terbuka lebar spontan. Setelah cahaya matahari dari arah barat berhasil menembus jendela yang tidak tertutupi tirai. Ia berisik dalam hati, mengomeli diri sendiri, kenapa tadi bisa secepat itu ia tak sadarkan diri. Kemudian mengucek-ngucek matanya cepat agar semakin sadar.
"Udahan mbak tidurnya?" Lebih kagetnya lagi, tahu-tahu ada suara berat yang terdengar jelas persis di telinganya. Nadanya gak terlalu ketus, melainkan lebih ke datar. Sehingga membuat perasaan Disti jadi deg-degan bercampur takut.
YOU ARE READING
Searah, Sejalan
General Fictionpelarian karena belom bisa lanjut ngerjain bakmi couple :(