Mascarpone Cheese

6 0 0
                                        

"On a serious note, kalau kamu balik ke masa lalu dengan ingatan sekarang, kamu mau ngapain?"
"Menangis, kayaknya." jawab Jane enteng.
"Kenapa?"
"Karena sebagai yang paling tahu masa depan, keputusan yang kuambil akan jadi lebih berat. Kematian Bibi Hani misalnya, aku harus apa? Mencegahnya atau tidak? Menentang takdir atau kebingungan?"
"You've got a point, sis."
Jane tertawa kecil, dia kembali ke kegiatannya sejak tadi: menghancurkan keju maskarpon. Sejak datang ke dapur modern kami, aku tak henti-henti merasa ngeri. Kompor listriknya yang tidak kupahami cara kerjanya. Oven super besar tepat di bawah kompor. Tanaman sulur di dapur. Demi Tuhan siapa yang menanam ruang terbuka hijau di dapur? Ya, dapur kami besar sih.
Jane menahanku dari kegiatan rebahan untuk mencicipi kue buatannya. Rasanya enak, tapi aku rasa keenakan itu 80% disumbangkan oleh bahan-bahan mahal yang dia pakai. Soalnya, bentuk kue Jane masih mirip sarapan neraka. Dia belum jago.
Dalam urusan memasak, orang kaya lebih diuntungkan. Selalu ada ruang untuk tumbuh bagi semua orang, tapi modal untuk trial and error tidak bisa ditemukan di rumah orang miskin. Ibuku selalu bilang dia tidak pandai membuat kue (ini sebabnya Idul Fitri kami hanya dimeriahkan tumis). Aku berkali-kali bilang bahwa kuenya hanya gagal karena dia baru mencoba satu-dua kali dalam memasaknya. Jika punya lebih banyak bahan  Ibu bisa latihan lebih sering dan jadi jago. Tapi, Ibu memilih menanamkan titel "Gagal" di dahinya. Inilah salah satu alasan aku ingin cepat kerja dan kaya: supaya bisa memberi banyak kesempatan kepada keluargaku. Sigh.
"Kakak kenapa sih dari kemarin? Murung, tidak berenergi, kelihatan kayak orang yang diberi beban pemberat di tangan dan kaki."
"Selamat Jane, kau berhasil merangkum faset depresi di DSM-V dengan tepat."
Jane mengancamku dengan siduk maskarponnya, "Jangan bercanda soal DSM-V."
Ah, adikku yang berpengetahuan, ternyata tahu trivia yang kusukai meski pindah alam semesta.
Aku memikirkan beberapa hal akhir-akhir ini. Kukira jika aku berkecukupan, maka gejala mental illness-ku akan berkurang. Bagaimanapun, menurut penelitian, kemiskinan dan mental illness itu lekat kaitannya (pikirkan saja teori kebutuhan Maslow, kalau kebutuhan dasar saja tak tercukupi, kesejahteraan akan jauh dari kamus seseorang). Tapi aku masih sama seperti dulu, padahal ada lebih banyak kesempatan bagiku di dunia ini: waktu tak terbatas, uang, dukungan dari manusia. Lmao. Mungkin memang, aku kurang bersyukur.
Bukannya aku tidak pernah memikirkannya loh, stigma-stigma lucu yang dilempar ke arahku. Coba katakan hal yang buruk tentang penderita mental illness. Nah, tidak usah repot-repot, mereka sudah memikirkannya duluan dan mengecap diri mereka buruk lebih dari kata-kata kalian.
Aku tahu keadaanku dipengaruhi mental illness-ku. Tapi aku juga tahu kalau (kadang) orang yang memperparah keadaanku juga aku sendiri: keputusan-keputusanku. Aku memang tidak memilih untuk punya mental illness, sebagaimana kalian tidak memilih mau dapat tipes atau demam. berdarah. Tapi aku yang memutuskan mau mencari bantuan atau tidak, mau menyabotase diriku sendiri atau tidak, mau berjuang menjadi lebih baik atau tidak. Rasanya sulit, seperti... yah... seperti lari marathon dengan kaki patah.
Tapi bukannya tidak bisa dilakukan. Kan ada orang yang menawarkan kursi roda, dan aku bisa minta bantuan untuk didorongkan kursi rodanya.
Di dunia lamaku, aku berhenti berobat ke psikolog karena uang tabunganku habis (lebih mahal dari uang kuliah damn). Kenapa tidak kupikirkan sejak kemarin? Aku punya uang sekarang. Aku bisa ke psikolog.
"Kayaknya aku mau konseling." gumamku.
Jane menjatuhkan siduknya ke lantai, "Apa?" aku tidak menyangka dia akan mendengar gumam-semi-bisikanku.
Ah, sudahlah, jangan ditutupi. "Aku mau konseling."
Yang tidak kupahami, Jane memberiku anggukan singkat. Dia melepas celemeknya dan menyingkirkan mangkuk keju. "Bi! Kasih tahu Mang buat panasin mobil." dia berseru kencang. Diikuti sahutan, "Baik Non!" dari ruang sebelah.
Jane kembali menatapku dengan serius, "Oke, ayo kuantar, ada klinik psikiatri dekat sini."
Aku lupa.
Ini kan alternate universe kebalikan dari dunia asalku.
Di dunia ini, tentu saja tidak akan sama.
Di dunia ini, mental illness tidak diperlakukan seperti bintitan, dan akan ditangani dengan baik.

Catatan:
Ini cerita tak berkonsep ter-absurd yang pernah kubuat. Tapi aku tidak menyesal membuatnya. Lmao.

Daily Log InTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang