m a r e t (06)

261 62 55
                                    

"Kalo kamu sayang, kita ...."

Zora menunggu perkataan Alfan selanjutnya. Gadis itu berjalan mundur hingga terantuk dinding pembatas sekolah. Ia sudah tidak bisa bergerak ke mana-mana. Mengerikan. Ia diselimuti ketakutan.

Kedua tangan Zora mengepal di depan dada. Guna mendorong tubuh Alfan, namun ia masih mengumpulkan keberanian. Jarak mereka semakin dekat. Ah ... bagaimana jika ada orang yang melihat? Pasti mereka akan salah paham.

"Kita ketemuan sore nanti."

Alfan menyandarkan tangan kanannya ke tembok. Masih saja membuat gadisnya takut. Matanya tak berhenti menatap walaupun pandangan Zora ke arah lain.

"Bisa, Dek?"

Zora menghembuskan napasnya kasar. Ia memutar bola matanya malas. "Ngapain?"

"Ya, main. Masa kita pacaran nggak pernah jalan bareng, sih, Ra?"

"Mas, kamu tau kan, dapetin izin dari ortu itu susah. Aku belajar kelompok aja susah, apalagi main?"

"Kamu nolak, Ra? Kalo nggak mau bilang aja," jawab Alfan kesal lalu meninggalkan gadisnya. Tetapi, Zora menghadang.

Gadis itu mendongak. "Kita kan udah ketemu di sekolahan, Mas."

"Iya, Ra. Aku pengen kaya yang lain, jalan bareng."

Zora merasa bersalah. Selama mereka berpacaran, memang jarang pergi ke luar, meski hanya main ataupun makan bersama. Bukan masalah kemauan, tetapi risiko yang diterima Zora sangat besar. Tentang peraturan orang tuanya, gadis ini tidak sebebas remaja lain.

"Mau, ya, Sayang? Please."

"Aku izin dulu, Mas."

Alfan menyapu rambutnya ke belakang. Ia menyandarkan tubuhnya ke dinding, menatap langit cerah. Mata sayunya menyipit tatkala sinar matahari menerpa wajahnya. Ia pikir, mengajak Zora keluar adalah hal mudah, namun prediksinya salah. Dirinya kesal sebab realita tak sesuai kemauannya.

Dengan cara apa? Melalui alasan apa agar dirinya mendapat izin keluar rumah? Pertanyaan-pertanyaan itu terus terngiang di kepala Zora. Belajar kelompok? Ah ... sudah terlalu sering. Lalu, ia harus bagaimana?

"Tapi, kalo nggak boleh gimana?" tanya Zora membuat Alfan sontak menatapnya.

Alfan berdecak. "Kalo kamu sayang sama aku, pasti kamu bakal berusaha. Nggak diem aja, Ra."

Perkataan Alfan membuat gadis itu tidak bisa berkata apa-apa. Ia memilih diam, tidak berani menatap Alfan yang nampaknya kesal. Memang benar, yang belum merasakan tidak akan mengerti.

"Kamu harusnya juga bakal bisa ngertiin, Mas." Gadis itu berkata dalam hati.

"Kenapa?" Alfan bertanya sebab gadisnya itu selalu diam. Ia dongkol, sangat.

"Kamu jangan diem aja, Ra. Kamu kenapa, sih? Diajak ngomong malah banyak diem. Sedangkan, sama temen-temen kamu ketawa ketiwi."

Sakit yang dirasakan Zora ditutupi oleh senyuman tipisnya. Kepalanya naik-turun, ia akan berusaha mencari alasan agar bisa keluar sore nanti. Tetapi, jika ada Ayahnya, ia sangat sulit mendapat izin. Jika ingin dijelaskan, Alfan tidak akan mengerti kondisinya.

"Woi, Alfan! Ayo makan elah!" ajak Daifan. Cowok itu entah muncul dari mana.

Ketiga teman Alfan menatap mereka datar. Alfan yang semula cemberut kini sumringah. Sedangkan Zora sedikit melebarkan matanya ketika Alfan meninggalkannya tanpa sepatah kata.

Zora and Twin YearsTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang