Telat

100 100 86
                                    

Apa kabar hari ini?

Kalo ada typo tolong ditandai ya, terimakasihh♡

Selamat menyelam di cerita Mengenal Diri
(。>‿<。 )




Birunya atap yang terbentang di atas bumi dan putihnya awan pagi ini membuat suasana hati seorang gadis yang sedang bersenandung di halaman rumah itu sangat kentara bahagianya

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.


Birunya atap yang terbentang di atas bumi dan putihnya awan pagi ini membuat suasana hati seorang gadis yang sedang bersenandung di halaman rumah itu sangat kentara bahagianya.

Memancarkan senyum yang indah dari pahatan wajah yang sungguh sempurna bahkan jika dilihat dari sudut manapun.

Dia Ema, seorang gadis ceria yang seperti rembulan.

Sayangnya, Ema belum cukup sadar atas kelalaian terhadap Tuhan-Nya meski Ibu, kakak serta abangnya sudah memperingatkan berulang-ulang kali hingga mereka lelah untuk menasehati Ema.

Bagi Ema, hidupnya adalah pilihannya. Tidak ada siapapun yang bisa merubah selain atas kehendaknya sendiri.

“Ema!!” panggil seorang laki-laki dari dalam rumah.

Yang dipanggil pun menoleh ke arah pintu kemudian tersenyum. Ema menghentikan aktivitasnya menyirami tanaman.

“Kenapa sih, kakak gantengnya Ema?” balasnya sambil menghampiri sumber suara.

“Ibu mana?” Husain—kakaknya Ema.

“Ohh, Ibu katanya mau lihat stok bahan di restoran,” Ema berjalan ke dapur menuju wastafel untuk mencuci tangan.

“Kenapa?” lanjutnya.

“Nggak.” Tidak ada sahutan setelahnya.

“Besok berangkat sama Hasan aja, kakak ada kelas pagi,” Husain kembali bersuara setelah beberapa detik hening.

“Siap bos.” Jawabnya sambil menempelkan ujung jari di kening, hormat. Husain mengangguk lalu pergi ke kamarnya.

🌼🌼🌼

“Ema!! Buru turun, sarapan dulu!!” teriak Ibu dari balik pintu kamar Ema sambil sesekali mengetuk.

“Iya, Buuu.” Teriak Ema tak kalah keras.

“Ini udah jam enam lebih sepuluh menit lho, nanti kamu telat,”

“Iya, Bu, sebentar lagi ini.”

Mendengar jawaban itu, Fatima—Ibu Ema kembali ke meja makan untuk menyiapkan sarapan. Ema yang sudah selesai menguncir rambut pun bergegas menghampiri sang Ibu dan abangnya.

“Assalamu’alaikum, selamat pagi semua,” sambut Ema sambil menarik kursi kemudian duduk.

“Wa’alaikumussalam,” jawab Ibu dan Hasan bersamaan.

“Kak Husain mana, bang?” Tanya Ema baru sadar ternyata hanya ada Hasan disini.

“Udah berangkat, katanya ada kelas pagi takut terlambat.” Ema hanya menjawab dengan anggukan karena mulutnya penuh dengan roti.

Padahal kemarin Husain sudah memberitahunya, dasar.

Gadis itu melihat jam tangan yang bertengger di pergelangan tangan kirinya kemudian langsung meminum susu yang sudah disiapkan Ibu hingga tandas.

“Astaghfirullah, bang ayo bang, udah telat ini,” Ema bersiap-siap mengambil tasnya yang disimpan di kursi sebelah.

Di luar dugaan, Hasan justru tertawa melihat adiknya yang sedang panik, lucu katanya.

“Yaudah iya, tunggu di luar abang ambil kunci mobil dulu di kamar.”

“Kok pake mobil sih, pake motor aja bang!” Hasan yang akan melangkah mengurungkan niatnya karena mendengar ocehan Ema.

“Roti di tangan kamu belum habis Ema sayang, masa mau makan sambil dibonceng sih, gak malu?”

“Yaaa…tapikan—”

“Tunggu di luar!!”

“Ibuuu,” berharap ibunya mengiyakan.

“Abang benar Ema,” ucap ibu dengan lembut.

Ema menghela napas dan pasrah, kali ini tidak ada siapapun yang memihaknya. Menyedihkan.

Di perjalanan menuju sekolah, Ema terus saja mengoceh meminta Hasan mempercepat laju mobilnya agar segera sampai karena jam sudah menunjukkan pukul 06.21 yang artinya 9 menit lagi gerbang sekolah akan ditutup. Tapi tentu saja Hasan tidak akan menuruti perintah itu demi keselamatan mereka.

“Tuh kan macet, kalo bawa motor kan bisa nyalip, bang.” Ema mengerucutkan bibirnya.

“Marah-marah mulu, sabar!”

“Tapi ini gak ada tanda-tanda kemacetan selesai, udah ah Ema mau lari aja lagian udah deket.”

“T-tapi kan—, EMAAA!!!” Ema sudah berlari kocar kacir di trotoar jalan dengan tas pundak yang mengayun ke kanan dan ke kiri mengikuti arah kaki Ema.

“Dasar ni anak, gak sabaran banget.” Dialog Hasan sambil menggeleng-gelengkan kepala.

Setelah beberapa menit menunggu, jalan akhirnya normal kembali dan Hasan bergegas menyusul Ema. Dari kejauhan, ia melihat Ema di bonceng oleh seseorang.

Dengan segera, kemudi itu dikendalikan dan mengikuti Ema hingga sampai di gerbang sekolahnya. Hasan pikir itu hanya teman Ema yang kebetulan bertemu di jalan dan memberi tumpangan, tanpa berlama-lama ia kembali ke rumah untuk berehat karena hari ini libur kerja dan tidak ada kelas perkuliahan baginya.







Senin, 18 April 2022



Cremie_boba





Kritik dan saran dm aja ya..

Terimakasih udah baca sampai akhir, jangan lupa vote ≧﹏≦

Mengenal DiriTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang