Selamat membaca:)
___Waktu cepat berlalu. Wanita bernama Cho Seol-Mi itu sedang melihat awan yang berpencar di langit siang. Wanita yang bekerja sebagai seorang florist tersebut menghela napas saat melihat pelanggan terakhir, lebih tepatnya pelanggan terakhir pada siang itu yang berjalan pergi setelah menyapanya.
Sejauh ini, bekerja sebagai florist terlihat menyenangkan. Begitulah sebagian besar tanggapan teman-teman Seomi. Melihat wanita itu setiap hari bersama dengan bunga harum yang segar dan memanjakan mata, mereka mengira semua baik-baik saja.
Akan tetapi, namanya juga bekerja. Pekerjaan tidak akan selamanya selalu ada dalam tingkat keuntungan, tetapi ada masanya kerugian juga menjadi tantangan.
Untung saja selama satu tahun ini Hope Flowers, toko bunga yang Seomi kelola masih meningkatkan keuntungan.
Kembali ke Cho Seolmi, ia masih berdiri di depan pintu toko. Wanita itu menyapa ketiga karyawan wanitanya saat mereka baru kembali sehabis makan siang. Di Hope Flowers, Seolmi tidak menyediakan makanan untuk karyawannya, di sana hanya tersedia kopi. Jadi setiap jam makan siang, mereka akan pergi ke restoran yang berjarak dua bangunan dari toko bunga itu.
"Eonni, kau tidak ikut pergi. Kau sudah makan siang?" tanya salah satu karyawan yang sudah kembali. Ia tak ikut masuk bersama yang lain. Perihal panggilan itu, mereka sudah terbiasa memanggil Seolmi dengan panggilan eonni karena mereka lebih muda, meskipun hanya berjarak beberapa bulan saja.
"Belum, aku tidak mungkin meninggalkan pelanggan."
Karyawan tadi mengangguk. "Aku kira sudah tak ada yang datang lagi. Karena itulah kami pergi."
Seolmi bisa mengerti. Jika sudah jam makan siang, maka karyawannya harus makan bukan?
"Masuklah," suruh Seolmi menepuk pelan pundak wanita di depannya. "Aku pergi dulu, beritahu yang lain aku akan kembali sebelum jam pulang."
Seolmi lalu berjalan memasuki mobil yang ada di parkiran yang tidak jauh dari tokonya. Tempat tujuannya sekarang adalah minimarket, ia ingin membeli beberapa makanan dan minuman untuk dibawa pulang karena sebagian besar isi kulkasnya sudah mulai kosong.
Suara pesan masuk dari ponsel, sejenak membuat Seolmi ingin mengambil benda itu yang berada di kursi mobil di sebelahnya. Jarak yang sangat dekat. Namun, ia mengurungkan niatnya. Terlebih sebentar lagi ia akan segera sampai. Jadi, lebih baik menunggu beberapa menit lagi.
Tas belanjaan yang terisi sudah ada digenggaman. Rencananya Seomi ingin langsung pulang, tetapi melihat kursi dan meja di dalam minimarket itu kosong, alhasil wanita tersebut duduk di sana. Tidak lama, Seolmi hanya akan numpang minum di sana.
Setelah meneguk minuman dingin, ia mengecek ponsel untuk melihat pesan masuk tadi.
"Sialan!" gerutunya saat melihat pesan tadi yang ternyata dari operator. "Kukira ada hal penting, ternyata aku ditipu. Bukan, sepertinya aku terlalu berharap."
Wanita yang rambutnya terikat tersebut mengira bahwa si pengirim pesan masuk saat di mobil tadi adalah kliennya. Alhasil kini ia menggerutu sebelum akhirnya benda yang membuatnya kesal itu kembali berbunyi.
Kini ponselnya mendapat telepon masuk. Setelah melihat singkat siapa si penelepon, wanita itu segera menjawabnya.
"Ada apa?" Seolmi bersuara sebelum orang di seberang sana menyapanya.
"Aku mengirimkanmu pesan, kau tidak membacanya?"
Seolmi menghela napas. "Pesan apa? Di ponselku hanya ada pesan dari operator. Apa kau salah satu operatornya?"
"Hei! Aku mengirimnya tadi pagi dan sekarang sudah siang, kau ini punya kesibukan apa sampai pesanku tidak kau baca?"
"Tadi pagi ...," gumam Seolmi. Ia lantas memeriksa semua pesan di ponselnya. Wanita itu berpikir palingan yang dimaksud Kang Ae-Ra, sahabatnya itu adalah pesan basa-basi, apalagi pesan itu sudah dikirim sejak pagi, pasti sudah semakin basi. Sejenak Seolmi ingin tertawa karena isi pikirannya tersebut, tetapi ia menahannya.
"Bertahun-tahun mengenalmu, aku baru tahu ternyata kau hobi membaca pesan dari operator daripada sahabatmu ini!" hardik wanita di seberang telepon.
"Diamlah, aku punya banyak pesan dari klien. Aku sibuk tahu. Aku tidak punya waktu membaca pesanmu yang kurang penting itu," jelas Seolmi balas memarahi. Ia mulai kesal sekarang.
"Ka-"
"Pernikahan?" sela Seolmi memotong perkataan Kang Aera setelah membaca tulisan di layar ponselnya.
"Iya, jangan pura-pura lupa. Oke? Sampai juga di rumahmu."
"Hei!"
Telepon dimatikan secara tiba-tiba. Seolmi kesal karena belum mendapatkan jawaban atas pesan yang ia baca dan juga, siapa yang menikah? Sebentar, wanita itu merasa ada sesuatu yang tak sengaja ia lupakan.
***
"Apa katanya tadi? Sampai jumpa di rumahku? Dasar, awas saja kalau isi kulkasku hilang lagi!" gerutu Seolmi saat mengisi kode apartemennya."Hei, pencuri!"
"Tega sekali kau, Cho Seolmi," sahut Aera tak terima sang sahabat mengatainya seperti itu. Ia juga menuntut, mengungkit perbuatan Seomi yang tidak membalas pesannya.
"Sudah kubilang aku sibuk, jika ada apa-apa datangi aku. Itu saja kau tak tahu," jelas Seolmi sambil meletakkan tas belanjaan, lalu memperbaiki ikatan rambutnya yang merosot. Kemudian, ia berbaring di sofa panjang disusul helaan napas.
"Aku tahu, hanya lupa saja," terangnya. "Keluargaku sedang menyiapkan pernikahan, aku juga sibuk tahu," keluh wanita yang sedang mengeluarkan isi tas belanjaan yang dibawa Seolmi tadi.
"Pernikahan?" Seolmi bangun dari tempat berbaringnya. Ia lantas menaikkan satu kakinya di sofa, lalu lutut dijadikan tempat tumpuan untuk sikunya, dan tangannya pun menopang kepala. Wanita itu sedang mengingat-ingat sesuatu.
"Kau lupa?" Aera bertanya seraya dengan pelan mengambil bantal kecil di sofa. Wanita itu menyudahi kegiatan ubrak-abrik belanjaan sang sahabat. Sekarang bantal yang ia pegang justru terlihat akan segera menimpuk Seolmi.
Seomi diam-diam melirik kelakuan sahabatnya. "Hampir lupa. Tenang saja, aku sudah memulihkan ingatan," tutur Seolmi merasa lega karena ia tak jadi mendapat pukulan bantal dari Aera. Sudah cukup ia dipukuli dengan bantal dua hari lalu, alasannya karena Seolmi menghabiskan makanan ringan Aera.
Meskipun pukulan bantal, tetapi tentu tetap ada rasa sakitnya, apalagi bila bantal tersebut dibanting dengan keras tepat di wajah. Bukankah itu sudah cukup bisa membuat make up berbekas di bantal?
"Minggu depan kau ikut aku pergi melihat gaun pengantin, jam sepuluh pagi. Ingat! Jangan amnesia. Jika kau tidak ikut, Eonni akan sedih nanti," pesan Aera. Wajahnya berseri, terlihat bahagia juga tak sabaran untuk melihat pernikahan Kang Ha-Na, kakaknya yang sekitar tiga bulan lagi akan menikah.
"Kau ... ambilkan aku minuman dingin."
"Ambil saja sendiri," tolak Aera kembali mendekat pada belanjaan Seomi.
Seomi melirik sinis ke arah Aera. "Kau tahu bahwa seorang florist juga butuh penyegaran bukan?"
"Lantas?"
"Ambil saja, kenapa banyak protes? Jelas-jelas kulkas ada di belakang sofa yang kau duduki, tinggal bergerak sedikit kau sudah bisa menjangkaunya."
Aera mengarahkan jari telunjuknya ke sahabatnya dengan maksud ingin protes, tetapi Seolmi lebih cepat membuatnya diam. Mengancam jika dia tidak menurut, Aera tidak boleh lagi menyentuh belanjaan yang Seolmi bawa. Karena kenyataannya Aera lebih malas untuk membeli makanan, lebih tepatnya ia suka gratisan. Jadi wanit itu akhirnya menuruti keinginan sang sahabat karena jaminan berupa makanan ada di hadapannya.
"Ini," ucap Aera menyodorkan apa yang diinginkan sahabatnya. "Minum yang banyak, ya. Sampai perutmu kembung juga tidak apa-apa," imbuhnya tersenyum.
"Tugas selanjutnya, kau temani aku memeriksa rekaman CCTV dari Hope Flower."
"Kenapa harus diperiksa? Sebulan yang lalu bukankah sudah?" keluh Aera.
"Akhir-akhir ini karyawan berkata ada laki-laki yang mencurigakan datang ke toko. Aku harus memeriksanya," tutur Seolmi melirik ke sana-sini. "Apa kau lihat laptop? Aku tadi membawanya, 'kan?" tanyanya, sedangkan Aera menggeleng karena memang ia hanya melihat Seolmi membawa belanjaan.
Wanita dengan rambut yang diikat itu menghela napas. "Aku akan kembali," ucapnya berlalu keluar dari rumah untuk pergi ke tempat parkir yang ada di apartemen itu.
___
Note
Eonni : Penyebutan untuk kakak perempuan atau untuk memanggil perempuan yang lebih tua. Panggilan ini hanya diucapkan oleh perempuan.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real of Feeling [On Going]
RomanceKetika seorang florist dan seorang fotografer bertemu secara tidak sengaja. Awalnya karena sedikit pengalihan tanggung jawab yang menimbulkan kesalahpahaman. Namun, semenjak itu pula mereka terkadang dipertemukan dengan urusan pekerjaan yang berkait...