Happy reading 💜
---
Bulir bening yang jatuh dari rambut mengenai tengkuk, diseka oleh laki-laki bergaya rambut mullet itu. Setelah menggantung handuk di kapstok, ia lantas ke luar kamar mencari keberadaan ibunya.Bukannya menemukan ibunya, ia justru menemukan kartu nama yang tergeletak di lantai tamu. "Ini bukan milikku, apa milik Ibu?"
Karena di rumah itu hanya dihuni mereka berdua, benda itu pasti milik ibunya. Namun, jika dipikir-pikir lagi, tidak mungkin ibunya sengaja menaruh kertas tebal persegi itu di lantai dingin tersebut. Dipastikan bahwa benda itu jatuh tanpa disadari. Sepertinya sang ibu terburu-buru, bahkan saat melewati kamar ibunya, pintu kamar masih terbuka.
Karena tidak menemukan keberadaan sang ibu di dapur, laki-laki berkaos hitam polos itu berniat meneleponnya setelah mengantongi kartu nama yang ia temukan tadi. Akan tetapi, ternyata wanita yang ia cari mendahuluinya, ponsel laki-laki itu berbunyi membuatnya langsung menerima telepon.
"Hajoon, Ibu di tempat kakekmu karena mendapat kabar kalau dia pingsan di kamar mandi sebab darah tingginya. Tapi kau jangan khawatir, kakekmu pasti akan baik-baik saja," jelas Bu Shin di seberang sana. Setelah mendengarnya, bagaiama bisa Hajoon tidak mengkhawatirkan keadaan sang kakek?
Hajoon bergegas menuju kamarnya untuk mengambil jaket dan kunci mobil dengan mulut yang tidak berhenti bicara. "Kita bisa pergi bersama, kenapa Ibu tidak memberitahuku lebih awal?"
"Kau biasanya bangun terlambat di akhir pekan. Kau sudah bekerja keras, Ibu tidak mau mengganggumu."
Memikirkan Hajoon yang sudah bekerja keras untuk biaya hidup mereka, membuat wanita tersebut tidak enak hati dengan anaknya karena sudah seharusnya ialah yang menghidupi anaknya, bukan sebaliknya.
Terdengar helaan napas panjang dari Hajoon. "Aku tidak apa-apa, tapi Kakek adalah satu-satunya keluarga kita yang masih ada. Jika terjadi sesuatu yang buruk padanya, tidur nyenyakku tidak penting lagi, Bu."
"Maafkan Ibu, tapi dengar ... sekarang kakekmu baik-baik saja. Kau tidak perlu datang. Jangan khawatir, kau bisa mendengar suaranya sebagai bukti."
***
Karena akhir pekan, di hari seperti ini Hajoon biasanya akan keluar berjalan kaki dengan kamera yang menggantung di lehernya. Itu membuktikan bahwa di hari kerja maupun akhir pekan, seorang Nam Ha-Joon masih terus didampingi kotak berlensa.Kini perasaan laki-laki yang berjalan santai di trotoar jalan itu cukup tenang. Beberapa saat lalu kakeknya berpesan agar Hajoon tidak harus selalu mengkhawatirkan keadaannya, bahkan pria tua itu menyuruh Hajoon untuk tidak mengunjunginya sekarang.
"Aku akan lebih senang jika kau mengunjungiku saat keadaan sudah baik-baik saja."
Begitulah yang dikatakan kakek Hajoon. Ia lebih senang Hajoon berkunjung saat ia sehat agar cucunya datang dengan wajah sumringah, bukan kekhawatiran.
Setelah memotret beberapa tempat dan objek yang bagus untuk diabadikan, Hajoon merogoh saku celananya mengambil kartu nama yang ia temukan pagi tadi. Pikirannya sudah kembali membahas perihal kecelakaan yang menimpa Bu Shin waktu itu.
Bagaimana jika tebakan Hajoon benar bahwa pemilik kartu nama itu adalah orang yang menabrak ibunya. Namun, setelah memerhatikan kertas tebal itu, jelas-jelas di sana tertulis nama pemilik dan tempat yang sering dikunjunginya baru-baru ini.
Hajoon masih diam di tempat. Membiarkan dirinya dilewati orang-orang yang berlalu-lalang di trotoar jalan besar siang itu. Ia membiarkan rambut bagian depannya melambai menghalangi penglihatannya.
Jika dipikirkan lagi, meskipun nanti tebakannya salah tentang siapa orang yang menabrak ibunya. Namun, setidaknya ia bisa menghilangkan kecurigaan, keingintahuan, dan kekesalan yang masih ada. Ibunya tidak menceritakan apa pun tentang kecelakaan itu, jadi apa salahnya Hajoon mencaritahu sendiri?
"Hajoon! Kau dia terlihat seperti orang bodoh di sini," celetuk seseorang mengagetkan Hajoon yang kini menatap horor padanya.
"Jangan pedulikan aku," ketus laki-laki yang membawa kamera itu, lantas segera menyembunyikan kartu nama yang sedari tadi ia pegang.
"Apa yang kau sembunyikan?" imbuh laki-laki bernama Yuseok tersebut.
"Tidak ada. Kau pergilah," suruh Hajoon melangkah pergi meninggalkan temannya yang kurang kerjaan itu.
"Sudah kubilang jangan menggangguku di hari libur," sindir Hajoon saat mengetahui Yuseok mengikutinya dari belakang.
"Hei, ini jalanan umum. Siapa pun bisa berada di sini, bahkan jika itu aku. Apa itu menggangu?" ketus laki-laki yang tampil cerah dengan pakaian serba cream, style yang cocok menggambarkan kepribadiannya. Sangat bertolakbelakang dengan style Hajoon yang kini didominasi warna gelap.
Hajoon berhenti berjalan sejenak, lalu menoleh untuk melihat Yuseok di belakangnya. Lantas ia mengangguk dan berkata, "Suara napasmu pun bisa menggangguku."
"Sialan kau, daripada di sini lebih baik aku pergi kencan dengan pacarku," ketusnya ingin meninggalkan Hajoon. "Nanti malam aku makan di rumahmu, ya," lanjut Yuseok terkekeh dan langsung pergi meninggalkan Hajoon yang sudah ingin menimpuknya dengan kamera.
"Terserah kau, dasar sinting!" teriak Hajoon yang malah menanggapi kelakuan acak temannya tersebut. Orang yang berlalu-lalang hanya melihatnya sesaat. Untung tidak menegurnya sebagai pengganggu seperti yang dikatakan Hajoon kepada Yuseok.
Seperti itulah pertemanan mereka. Orang bilang, dari banyaknya teman, kita setidaknya mempunyai satu teman dekat yang sudah dianggap sebagai saudara. Dan Hajoon mengalaminya, ia mendapat teman rasa saudara bermodelan Yuseok, laki-laki random yang seolah bertugas mencairkan suasana untuknya.
Meski demikian, dulu seorang fotografer itu pernah bertanya-tanya kepada diri sendiri. Dari banyaknya teman, kenapa yang paling akrab dengannya hanya Yuseok? Namun, semakin bertambah usia membuatnya bersyukur atas adanya Yuseok sebagai temannya, meskipun setiap kali bertemu akan ada kata kasar di setiap percakapan.
---
Haii, readers. Kalian juga punya teman dekat seperti Hajoon dan Yuseok, 'kan? Meski humor kadang enggak sejalan, tapi pasti akhirnya nyambung juga. ;)
KAMU SEDANG MEMBACA
Real of Feeling [On Going]
RomanceKetika seorang florist dan seorang fotografer bertemu secara tidak sengaja. Awalnya karena sedikit pengalihan tanggung jawab yang menimbulkan kesalahpahaman. Namun, semenjak itu pula mereka terkadang dipertemukan dengan urusan pekerjaan yang berkait...