Selamat membaca:)
___"Dia pasti akan marah jika aku menelepon dan memberitahunya tentang hal ini di jam kerjanya." Wanita itu menjelaskan seraya tersenyum canggung, ekspresinya berbeda saat membicarakan tentang anaknya.
"Jika tidak mau meneleponnya, kau bisa mengiriminya pesan," ucap Seolmi.
Tiba-tiba wanita itu tertawa pelan. "Aku tidak membawa ponsel."Wanita berpakaian rapi itu seketika malu, ia lantas membatin Tenanglah, ini bukan hal yang memalukan. Bagaimana pun juga, barusan Seolmi hanya berniat mengungkapkan pendapatnya.
"Kau kenapa?"
"Tidak apa-apa, menurutku udara di rumah sakit terasa berbeda," terang Seolmi berlagak percaya diri dengan mengambil topik yang berbeda, mengingat ia salah memilih kalimat untuk diucapkan beberapa menit lalu.
"Hah ... kau benar. Apa aku tidak bisa pulang sekarang? Aku sungguh sudah merasa sehat sekarang," jelas wanita paruh baya itu.
"Ajumeoni, jika sudah bisa pulang, aku akan memberimu tumpangan."
Tidak lama kemudian, seorang perawat masuk dan mendekati Seolmi. Memberitahu bahwa wanita yang bersama dengannya itu bisa langsung pulang, tetapi harus membayar biaya obat terlebih dulu.
Sebenarnya yang dia maksud tanggung jawab itu apa? Memindahkan orang yang ia tabrak ke ruang rawat yang bagus, tapi dia tidak membayar biaya pengobatannya, batin Seolmi kesal terhadap Aera. Awalnya ia diam-diam menyanjung perlakuan sahabatnya, tetapi sekarang ia menyesal dan ingin menarik sanjungan itu. Pada akhirnya Seolmi hanya bisa pamit sebentar untuk mengurus semuanya.
***
Mobil wanita berambut tergerai itu bergerak dengan kecepatan sedang saat berada di tanjakan. Lingkungan tempat tinggal Bu Shin Mi-Rae, wanita yang ditabrak Aera itu ternyata tidak terlalu jauh dari tempat tinggal ibu Seolmi.
Seolmi menghentikan mobilnya di depan pagar rumah dua tingkat. Tidak terlalu besar, tampak sederhana dan nyaman untuk ditinggali. Benar-benar pilihan yang bagus jika seseorang memilih hidup di sana.
"Waah ... Ajumeoni, kau tinggal di sini?"
"Iya, masuklah. Ini sudah siang, akan kubuatkan sesuatu untuk dimakan," ajak wanita itu merangkul pelan pundak Seolmi untuk mengajaknya masuk ke rumah. Baru bertemu beberapa waktu lalu, tetapi mereka sudah berinteraksi layaknya ibu dan anak.
Akan tetapi, tentang tawaran tadi. Seolmi awalnya menolak, langkahnya pun terhenti dan ingin berbalik pergi. Namun, seiring kata penolakannya, ia terus saja dibujuk dan dibawa masuk. Sampai akhirnya kini Seolmi duduk di sofa minimalis dalam rumah tersebut.
Di sampingnya ada rak buku dan beberapa bingkai foto. Seolmi memicingkan matanya saat melihat foto laki-laki yang ada dalam bingkai di dekatnya. Wanita tersebut merasa laki-laki di foto itu sangat tidak asing.
Seolmi melongo seperti orang bodoh. "Ajumeoni, dia anakmu?" Ia menunjukkan bingkai foto yang dipegangnya kepada Bu Shin yang berada di dapur, tempat yang tak jauh darinya karena masih satu ruangan.
"Oh, iya. Dia Ha-Joon. Ada apa? Kau mengenalnya?" ujar Bu Shin tersenyum.
"Hah? T-tidak. Aku baru pertama kali melihatnya, tapi rasanya dia terlihat familiar," elak Seolmi. Bu Shin hanya mengangguk dan kembali melakukan aktivitasnya.
"Astaga, bagaimana dia bisa ada di bingkai ini?" lirih wanita berbulu mata lentik itu. Ternyata laki-laki yang sering datang ke Hope Flowers adalah Hajoon, anak Bu Shin. Kebetulan macam apa ini?
Bukankah di dunia ini tidak ada yang namanya kebetulan? Seolmi membatin seraya menaruh bingkai tadi kembali ke tempatnya. Memikirkan kebetulan itu membuat Seolmi bergidik.
KAMU SEDANG MEMBACA
Real of Feeling [On Going]
RomanceKetika seorang florist dan seorang fotografer bertemu secara tidak sengaja. Awalnya karena sedikit pengalihan tanggung jawab yang menimbulkan kesalahpahaman. Namun, semenjak itu pula mereka terkadang dipertemukan dengan urusan pekerjaan yang berkait...