4

17 10 0
                                    

"Hai, Tlan!"

Mahasiswa tingkat akhir di salah satu jurusan fakultas teknik universitas swasta di Yogyakarta, menaruh rokonya pelan, menyadari kedatangan seorang laki-laki bernama Atlan tepat di sampingnya. Ia berada di antara lima laki-laki yang tiga diantaranya tengah sibuk dengan ponsel serta game, sementara dua lainnya terlihat bercengkerama santai dengan dua perempuan—atau pasangan mereka masing-masing.

"Gabung?" Sambungnya kemudian, menawarkan slot permainan online melalui layar ponsel yang tengah marak menjadi tren serta kegemaran berbagai kalangan usia kala itu.

Sedang laki-laki yang baru saja hadir justru menaruh ponselnya asal pada meja kafe tepat di depannya, kemudian menggeser kursi dan mempersilakan seseorang di belakangnya duduk. Seorang perempuan.

"Nanti." Ucapnya kemudian, membalas tawaran teman laki-lakinya yang kini tengah tertawa kecil sembari kembali mengisap rokoknya pelan. Sementara perempuan di belakang Atlan tersenyum kecil, setengah tersipu.

Laki-laki itu Atlan. Sedang perempuan di sebelahnya seorang mahasiswi lintas fakultas di universitas yang sama, dari angkatan tepat satu tahun di bawahnya, satu angkatan dengan Shana. Ia Azalea. Parasnya cantik persis seperti namanya. Rambutnya digerai sebahu dengan blus berwarna merah bata yang dipadu jeans panjang bernuansa hitam pekat. Sementara lesung pipit di salah satu sisi dari pipinya serta bibirnya yang merah menambah kesan manis dan menyenangkan ketika bicara.

Ah, seluruh manusia di sekeliling Atlan sepertinya tahu siapa perempuan itu.

Dan kini ia terlampau sibuk bercengkerama dengan perempuan di sebelahnya untuk mengerti jika ponselnya bergetar. Lagipula letak ponselnya terlampau jauh untuk membuat pemiliknya sadar oleh beberapa pesan singkat yang datang dengan hanya notifikasi getaran. Ia sering dibuat tersenyum malam itu oleh perempuan di sebelahnya yang kini tengah tertawa kecil setelah beberapa kali tersipu. Keduanya saling bertukar bicara sembari sesekali bertemu mata. Ah, Atlan bahkan baru mengenal perempuan itu setelah pertemuan pertamanya di kampus beberapa minggu yang lalu dan lihatlah malam ini, perempuan itu bahkan dengan berani menatap matanya dengan pandangan berbinar serta raut muka antusias seolah tidak ingin kehilangan satu detik pun waktu bercengkerama dengan laki-laki di sebelahnya. Ia terlalu kentara untuk dikatakan tidak punya ketertarikan terhadap laki-laki yang tengah berbicara dengannya malam ini. Pun mungkin keduanya terlalu terang-terangan antusias satu sama lain untuk dikatakan hanya berada dalam hubungan pertemanan biasa.

Dua jam lebih hingga pukul dua belas malam lewat sepuluh menit. Atlan menyahut ponselnya di meja kemudian beserta rombongan temannya meninggalkan kafe. Lalu perlu waktu belasan menit hingga ia selesai mengantarkan perempuan yang dibawanya tadi kembali pada tempat tinggal sewanya di Yogya. Dan kini tepat pukul dua belas malam lewat tiga puluh dua.

"Hai, Sayang!" Atlan menyapa antusias melalui sambungan telepon tepat setelah seseorang di seberang mengangkat panggilannya.

"Hai." Dijawabnya lirih.

"Kok gitu jawabnya?"

"Memang biasanya seperti apa?"

"Sha, semua orang bisa bedain mana yang baik-baik saja dan mana yang enggak." Ucapnya halus.

Sementara perempuan di seberang terdiam.

"Kamu marah?"

"Enggak."

"Terus kenapa jawabnya begitu? Kan kamu tahu, aku paling enggak suka dijawab singkat, dingin, atau cuek."

Perempuan di seberang kembali terdiam sejenak sebelum kemudian angkat bicara, "Perempuan yang tadi,"

Atlan lantas terbangun dari posisi tidurnya, bersiap menjelaskan segala sesuatunya sehingga perempuan yang tengah berbicara dengannya sekarang tidak akan melanjutkan kegiatan marahnya lebih lama.

"Aku enggak marah, hanya ingin tahu perempuan yang tadi siapa sampai pesanku enggak dibalas dan ditinggal senang-senang seperti itu di luar sana. Setidaknya kan bisa bilang di awal sebelum pergi keluar." Perempuan di seberang tersenyum singkat.

"Kamu tahu dari mana?"

"Snap teman Ka Atlan. Satu kontak denganku."

Atlan terdiam sebentar.

"Kamu tahu Clara, kan? Teman satu circle-ku yang dari Informatika. Satu jurusan denganmu tapi seangkatan denganku. Nah, perempuan itu temannya."

"Dekat dengan Ka Atlan?"

"Hanya akrab. Kita enggak ada apa-apa. Dia sering bantu aku kalau sedang di Yogya tapi setahuku dia jarang disini."

Keduanya terdiam sejenak.

"Sudah, ya, enggak perlu dibahas lagi?"

Perempuan di seberang masih bungkam.

"Ka Atlan pernah dengar kan, kalau aku bisa toleransi apapun kecuali kalau soal perempuan? It's ok ketika itu masa lalu Ka Atlan. Tapi kalau untuk ke depannya begitu, kayaknya aku enggak bisa."

"Hei, Sha. Enggak boleh ngomong begitu, ya?"

"Memang kenyataannya begitu."

"Kan aku sudah bilang, aku sama dia enggak lebih dari teman, dan kami enggak dekat seperti aku sama kamu."

Sementara Shana terdiam.

"Masih marah, ya?"

"Aku sudah bilang enggak marah."

"Terus kenapa diam, Sayang?"

Perempuan di seberang masih bungkam.

"Shana, kan aku sudah pernah bilang bahwa sekarang aku bukan lagi di usia yang mau main-main lagi termasuk untuk hubungan seperti ini. Aku juga berkali-kali bilang bahwa kamu perempuan paling baik yang pernah aku temui sampai hari ini dan aku sudah memutuskan untuk jaga kamu dan hubungan kita. Aku enggak akan ceroboh untuk melakukan hal-hal yang akan bikin kamu pergi dari hidupku, Sha."

"Sudahya, marahnya? Kan kemarin juga sudah janji, enggak akan pergi dari aku."

Atlan & ShanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang