6

11 8 2
                                    

Waktu menunjukkan tepat pukul satu dini hari. Shana masih bungkam setelah seharian ia hanya membalas pesan Atlan tanpa antusias seperti sebelumnya. Ia terlihat tengah berada di pelataran Jalan Malioboro yang tentu saja masih ramai lalu lalang. Ah, setelah menjalin hubungan dengan Atlan, perempuan itu punya kebiasaan baru, yakni menghabiskan waktunya semalaman dengan tidak berada sendirian di kamar dengan pikiran-pikiran yang menyiksa. Ia beberapa kali mengunjungi kafe sampai tengah malam-sembari mengerjakan apa saja seperti tugas kuliah atau semacamnya, lantas menghabiskan sisa waktu dini hari dengan bercengkerama bersama teman perempuannya di jalanan ramai seperti yang ia lakukan sekarang-meskipun ia masih benci keramaian layaknya sebelum mengenal Atlan. Ia lantas baru akan pulang pada pagi-pagi buta, setelah dirasa kehabisan bahan bicara atau ketika petugas berseragam membunyikan sirine tanda penertiban.

Ah, namun bahkan setelah pelariannya semacam itu, ia tetap saja menangis setelah sendirian meski tidak lagi berada pada waktu malam yang menyesakkan.

Shana ingin bilang bahwa Atlan menumpuk kekecewaan yang mungkin terkesan sepele atau luka berukuran kecil dalam diri Shana yang dibiarkannya bertambah satu demi satu, namun kenyataannya tidak dapat sendirinya berlalu. Dan ya, Shana mulai merasa bahwa perasaan ataupun hubungannya dengan Atlan tidak lagi membawa lebih banyak bahagia daripada perasaan kecewa-yang ia bahkan tidak dapat menyalahkan apapun atas apa yang dirasakannya.

Seperti hari ini misalnya, ialah kali ke sekian setelah Atlan membatalkan janjinya bertemu dengan Shana. Rasa-rasanya perempuan itu tidak pernah meminta apa pun selain hanya sedikit dari waktu Atlan demi perasaan bahagia yang baginya sederhana. Namun berulang kali Atlan ingkar janji. Kali pertama, terhadap janjinya menemani Shana pergi ke bioskop demi salah satu seri dari film kegemaran Shana, oleh karena ia lupa bahwa telah terlebih dahulu punya jadwal gym dengan salah seorang temannya. Kedua, masih membatalkan janji yang sama namun laki-laki itu justru menampakkan diri di pantai dengan beberapa teman sepermainannya. Ketiga, oleh karena kedatangan beberapa teman lamanya secara mendadak dan ia mesti menyanggupi acara reuni kecil-kecilan kala itu. Lagi, dan berulang kali sampai rasa-rasanya Shana bahkan tidak punya energi hanya untuk sekadar menjelaskan kecewanya seharian ini hingga dini hari kembali.

Shana sangat tahu bahwa Atlan tentu saja punya dunianya sendiri, dan Shana tidak pernah barang sekali pun berusaha mengusik apa saja yang sudah semestinya menjadi dunia Atlan. Termasuk prinsip dan prioritas. Meminta Atlan tidak membatalkan janji dengannya lantas harus absen dari situasi yang mungkin tidak dapat ia kendalikan, ialah hal yang egois dan terkesan tidak tahu diri serta oleh karenanya ia tidak pernah menyebut kalimat-kalimat kekanakan semacam itu di depan Atlan. Shana berusaha mengerti, namun sejauh ini tidak ada yang dapat membuatnya merasa jauh dari perasaan-perasaan menyebalkan oleh karena sikap Atlan yang bahkan mungkin tanpa Atlan sadari telah perlahan menyakiti Shana.
Hanya karena tahu Shana ialah seorang pengalah dan berhati lembut, lantas Atlan merasa bahwa perempuan itu akan dengan mudah menerima luka? Hanya karena tahu Shana sungguh tidak akan pergi dari sisi laki-laki itu lantas Atlan dapat meremehkan janji-janji sederhana yang ia ingkari berulang kali? Pun kenyataannya sekali lagi, Shana hanya seorang perempuan biasa yang dapat sakit, terluka, atau kecewa.

Ah, selain komunikasi di hubungan keduanya yang perlu diperbaiki, prinsip, latar belakang, serta kepribadian Atlan dan Shana terlalu berbeda untuk tidak kecewa ataupun terluka demi saling memahami.

"Hai, Sayang!" Atlan membuka bicara dengan segenap perasaan bersalahnya terhadap Shana.

"Maaf karena hari ini enggak jadi ketemu lagi. Kamu enggak tahu seberapa takutnya aku tiap-tiap kamu menghilang bahkan sampai seharian seperti tadi."

Shana terdiam.

"Kamu tahu, Sha? Dengan perempuan-perempuan biasanya, kalau mereka menghilang seperti kamu hari ini, aku enggak akan cari mereka lagi."

"Ka Atlan pikir itu bisa buat aku merasa lebih baik sekarang?"

"Aku cuma mau bilang kalau kamu sepenting itu buat aku."

Shana bungkam.

"Sha, kamu bisa bilang atau minta apa pun demi aku bisa bikin kamu enggak marah lagi."

"Ka Atlan seperti-" Shana menghentikan kalimatnya sejenak.

"Ka Atlan seolah nahan aku tapi meremehkan hal-hal yang buat aku kecewa." Ungkap Shana pada dialognya dengan Atlan melalui sambungan telepon tepat pukul tiga pagi sepulangnya dari menghabiskan waktu semalaman di luar hingga dini hari.

Bagaimana lagi? Shana harus bicara.

"Kok kamu ngomongnya begitu?" sahut Atlan setelah sejenak terdiam.

"Sha, aku enggak bisa menghindar dari situasi yang aku sendiri enggak tahu apa yang terjadi hari ini bisa datang di waktu kita punya janji."

Ya, lagi-lagi Shana harus mengerti bahwa apa yang terjadi hari ini ialah hal di luar kendali Atlan. Dan ia tidak bisa egois atau bersikap kekanak-kanakan semacam itu. Serta, apa yang bisa dilakukan keduanya jika telah semesta yang bicara?

Shana mengerti tidak ada yang dapat disalahkan. Dari awal, ia tidak pernah minta banyak hal. Ia tidak pernah meminta Atlan meninggalkan kebiasaannya di masa lalu demi hubungannya dengan Shana. Shana tidak pernah berusaha mengubah batasan, pemikiran, ataupun dunia Atlan. Perempuan itu tidak pernah meminta Atlan berubah. Dan oleh karenanya, Shana memutuskan untuk menganggap sebagian besar dari kecewanya ialah konsekuensi dan bukan kesalahan Atlan. Untuk ke sekian kali, Shana percaya bahwa Atlan pun tidak berniat membuatnya kecewa dan lantas mengalihkan alasannya terhadap waktu dan semesta.

"Maaf. I just miss us, Ka Atlan. Maaf kalau aku egois."

"I miss us too, Sha, badly."

Dan begitulah seluruhnya selesai malam itu.

Atlan & ShanaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang