[Part 9 - Die]

3 0 0
                                    

Berita yang diunggah Akane dan lainnya juga tak kalah cepat menyebar. Mereka mendapatkan video rekaman yang asli dan mengunggah beberapa detik saat Rin berteriak dan melukai lehernya. Mereka juga menyebarkan video CCTV saat pelaku membawa Rin di lorong hotel serta konfirmasi identitas pelaku. Meskipun tidak mengungkap pelaku yang sebenarnya, tapi paling tidak mereka menunjukkan bahwa Rin bukanlah orang yang menjadi simpanan pria tua, Rin bukanlah perempuan sebebas itu.

Tapi tentu saja, tak semua orang langsung menerimanya, masih banyak yang menganggap itu sebagai editan. Rin juga tidak peduli masalah media, ia menutup mata dan telinganya dari cibiran warga net. Ia lebih menyiapkan diri untuk menyerahkan bukti ke pihak akademi besok. Ia tahu persentase ia tidak dikeluarkan sangat sedikit karena akademi kedokteran itu sangat mengedepankan image instansi mereka. Membuang satu mahasiswa adalah hal yang kecil kan?

***

"Dimana kamu?" tanya ibu begitu Rin mengangkat telponnya

"Di hotel" jawab Rin singkat tanpa tenaga

"HAH? APA MAKSUDMU? BERSAMA OM-OM ITU? KAU TIDAK KAPOK YA?" bentak ibu di seberang sana

"Ibu bukan begitu!" jawab Rin dengan segera, "Rin ingin menyendiri"

"Sudahlah ibu tidak peduli. Besok setelah mengurus pengeluaranmu kita langsung pulang. Ibu akan membasuhmu hingga semua perbuatan kejimu itu sirna" ucap ibu dengan nada yang sama sekali tak mengenakkan dan langsung mematikan hp nya

Ibu anggap aku ini apa... batin Rin. Tubuhnya gemetar kembali menangis terduduk di lantai. Aku harus bagaimana, masa depanku seolah di tangan ibu. Hidupku seperti apa setelah ini. Semua pikiran itu menjejali otak Rin.

Matanya menangkap kotak peralatan yang tadi diberikan Hakaze. Tangan Rin perlahan membukanya. Bau cat, minyak, kanvas, menyeruak ke hidungnya. Alat ini sudah pernah terpakai mungkin beberapa saat oleh Hakaze. Namun masih terlihat rapi. Cat air, cat minyak, cat poster tersusun rapi di rak tersendiri. Sepaket kuas, kanvas, sketch book semua membuatnya rindu. Tangannya bergetar ingin sekali ia kembali menggambar. Namun ia takut. Setahun ini ia selalu diselimuti rasa takut saat hendak memegang kuas. Takut kepada ibunya, juga takut kepada diri sendiri yang semakin ingin dan tidak dapat memasang topeng yang diinginkan ibunya.

Rin pun kembali menutup kotak peralatan itu dan menenggelamkan diri di kamar hotel yang gelap, sunyi, dan penuh kesedihan.

***

Keesokan harinya

Semenjak bertemu ibunya di apartemen, tak ada sapaan, tak ada senyuman. Rin juga merasa tak perlu menjelaskan ke ibunya, ia merasa itu percuma. Hingga di akademi pun mereka hanya berjalan beriringan seolah-olah tak mengenal satu sama lain. Rin terus menunduk, sedangkan ibunya menatap depan dengan wajah yang tidak membaik semenjak kemarin.

Sampai di ruang kemahasiswaan, baik ibunya, dosennya, semua enggan untuk bersikap baik. Ibu Rin sudah lelah untuk membujuk akademi kemarin. Ia berpikir itu memang kesalahan putrinya sehingga ia yang akan bertanggung jawab untuk mendidik putrinya lagi dan mengurus masa depannya lagi

Sebelum Rin menyerahkan berkas drop out yang sudah ditandatanganinya, Rin terlebih dahulu menyerahkan flashdisk, "Ini bukti bahwa hal itu bukan perbuatan saya. Anda bisa mempercayai itu atau tidak tapi sampai kapanpun saya tidak akan mengakuinya karena memang saya tidak melakukannya"

"Darimana bukti ini? Apa yang membuat kami yakin bahwa ini bukti yang valid?", jawab dosen di depan Rin

"Bukti itu berasal dari teman saya. Kami sudah menyerahkannya ke polisi untuk memeriksa keaslian bukti tersebut", jawab Rin. "Pak, misalkan bukti ini benar, apa bapak akan mempertimbangkan keputusan anda?" tanya Rin serius, setelah mengumpulkan sisa harga dirinya untuk memohon kepada orang yang terus memojokkannya

SELFTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang