Lin Chen duduk di samping ranjang, jubah biru pucatnya bernoda ungu di beberapa bagian. Pandangannya tertuju pada Lin Shu sejak dia masuk ke dalam, namun lelaki itu tak melihat siapapun kecuali Jingyan. Lin Chen menarik napas lembut dan menyerahkan tempat duduk padanya.
Lin Shu mendekati ranjang itu dengan lambat. Kedua mata Jingyan tertutup rapat, napasnya hampir tak terasa. Lin Shu mengawasi dengan obsesif, jari-jarinya menggali ke sisi lain tempat tidur di mana noda darah masih segar dan basah. Dia mengangkat jari-jarinya yang gemetar untuk mengusap cairan merah di armor, samar-samar merasa bahwa tangan itu sedingin rompi baja.
Lin Shu tak pernah begitu takut. Tidak ketika pergi ke medan perang pertama kali, atau ketika pedang musuh nyaris menyentuh dadanya. Tidak pula ketika dia begitu dekat dengan kematian di Tebing Mei.
Lin Shu mendengar dirinya sendiri bernyanyi berulang kali, "Jingyan, jangan takut, kau takkan mati."
Mungkin suaranya mencapai alam bawah sadar orang di atas ranjang itu. Jingyan berusaha keras dan akhirnya membuka matanya. Lin Shu melihat wajah tertekan tercermin di dalamnya.
"Xiaoshu..."
Dalam kesadaran kaburnya, Jingyan ingat ketika Mei Changsu sakit parah, dia memegang tangan rapuh itu dengan kuat, seperti seseorang di depannya sekarang. Perkataan Mei Changsu yang diucapkan dalam keadaan demam, perkataan yang Jingyan tak jelas mendengarnya untuk pertama kali, tiba-tiba menjadi lebih dan lebih nyata setelah satu kehidupan.
'Jingyan, jangan takut...'
Namun selama ia hidup, selama dia masih memiliki sesuatu yang dipedulikan dan sesuatu yang tak ingin untuk kehilangan, dia tak bisa benar-benar menjadi tidak takut.
Jadi kau datang. Selama kau di sini, aku takkan pernah ditinggalkan tanpa jalan lain, dan aku takkan pernah sendirian dalam perjalanan ini.
Jingyan membelah bibirnya yang pucat sedikit demi sedikit, memanggil dengan lembut, "Tuan ... Su...."
Panggilannya tak dijawab.
Kelelahan dan sakit yang tak kungjung henti menyeretnya dari dua arah berbeda, menjaganya dari tidur juga bangun.
Jingyan menutup matanya dan melanjutkan, "Tuan Su.... Nenek sakit. Jika saja Ibu ada di sini, Nenek akan baik-baik saja.... Semuanya karena aku...."
Setelah sebuah keheningan lama, dia mendengar suara rendah menjawab parau, "Itu bukan salahmu, Jingyan, Nenek akan baik-baik saja."
Jingyan menggelengkan kepalanya, dia tak bisa mengungkapkan kata-kata itu pada siapapun kecuali Mei Changsu.
"Semuanya akan baik-baik saja. Jingyan, kau juga akan baik-baik saja," suara itu berlanjut, jari-jari yang dingin mengoleskan air ke bibirnya yang kering, "Aku di sini."
Matanya masih tertutup, Jingyan terbatuk lemah beberapa kali, dan kemudian mengucapkan setiap kata dengan keyakinan enggan, "Xiaoshu tak ada di sini."
.
.
Lin Shu duduk seperti patung di samping Jingyan sepanjang malam. Ketika fajar mulai menyingsing menembus kegelapan di luar dan tetesan es memanjat jendela, Wei Zheng memasuki pondok dan mengingatkan, "Wakil Komandan, kita harus pergi."
Lin Shu tak membuat gerakan apa pun untuk menunjukkan bahwa dia mendengar. Kepalanya masih menoleh pada ranjang.
"Wakil Komandan...!" Li Gang mendesak, mengambil satu langkah ke depan.
"Dia takkan mati," seorang pria berjubah biru berkata santai, bersandar pada pintu, "Meskipun dia kehilangan banyak darah, armor itu melindunginya dari serangan terburuk. Dia takkan mati sekarang jika dia tak mati tadi malam."
KAMU SEDANG MEMBACA
Nirvana In Fire
Fanfiction[TAMAT] [Terjemah Fanfiction] *tamat untuk main story Judul: Yi Shi Zhen/Shi Zhen/Once Again, In Time Author fict: Lei Wen Author penerjemah Inggris: katiirabbi Genre: Shonen Ai/Politik/Fiksi historis/Friendship/Time Travel Pair: Lin Shu/Xiao Jingya...