Part 4

0 0 0
                                    

Lelaki berjubah perak berdiri di teras rumahnya. Kalian tau wujud rumah panggung? Seperti itulah kurang lebih tempat tinggalnya saat ini. Jubah peraknya berkibar karena terpaan angin malam, seiring dengan dirinya yang mengingat rapat antar Pater tadi siang.

Omong-omong, Pater adalah panggilan untuk para guru dan sesepuh di negeri ini.

Seluruh Pater duduk mengelilingi meja batu berbentuk oval. Termasuk salah satunya, Zayden. Lelaki berjubah perak itu bukanlah seorang Pater. Ia lebih dari itu. Ya, calon raja negeri Pearly Land yang sedang diambang kehancuran.

Perundingan seperti ini hanya dilakukan untuk keadaan-keadaan genting. Merencanakan suatu penyerangan untuk kemerdekaan negeri ini salah satu halnya.

Benar, negeri ini sedang dalam penjajahan oleh seorang manusia yang bukan keturunan Pearly Land. Dia membawa pasukan ke pulau makmur itu, menembus benteng pertahanan dan menyandra segala bangunan penting di negeri itu. Kini, penduduk asli Pearly Land hanya bisa berlindung di seperempat pulau utama, dengan bantuan kekuatan para Pater.

"Aku disini mengumpulkan semua Pater dan kau, Zayden, tak lain untuk menyusun rencana penyerangan pada para penjajah negeri ini," mulai Pater Mark serius, Pater berjubah putih itu adalah pemimpin para Pater. Pater Mark menjelaskan mengenai ramalan leluhur, bahwa esok, calon ratu akan segera datang.

"Kita harus segera menyusun rencana dengan hati-hati," ucap salah satu Pater bertubuh tegap meskipun sudah berumur, Pater John namanya. Pemimpin perang negeri Pearly Land.

"Penyerangan dapat kita lakukan, asalkan kita memiliki dua kekuatan sempurna. Ketika sang calon ratu datang ke negeri ini, secepatnya Zayden harus menikahinya. Karena hanya dengan penyatuan keduanya, kekuatannya akan sempurna," jelas Pater Max, sang pelatih kekuatan dan ketahanan seluruh penduduk pribumi, terutama pemuda dan pemudinya.

Mendengar apa yang diucapkan oleh Pater Max, Zayden mengalihkan pandangannya ke arah laki-laki berumur 40 tahun itu. Wajahnya jelas menolak perkataan tersebut.

"Aku tidak bisa menikahinya. Aku sudah memiliki seorang kekasih," ucap Zayden dingin. Dari awal ayahnya mengantar dirinya ke tempat terpencil ini, wajah dingin dan datar adalah teman sejatinya. Topeng penutup kecewanya.

"Ini bukan sebuah pilihan, Zayden. Kau harus melakukan itu. Aku beri kau waktu 1 bulan, sebelum gadis itu berumur 18 tahun dan kau harus menikahinya. Menikahi cucuku," ucap Pater Mark tegas. Zayden membuang wajahnya dari pria berjubah putih itu, menutupi kekesalannya.

"Apa yang dikatakan Pater Mark benar, sementara menunggu 1 bulan itu, kau harus melatih kekuatan gadis itu, cucuku," sambung Pater John yang membuat Zayden menghela napas.

"Lagi pula, satu tahun mu disini akan sia-sia jika kau menolak menyelamatkan negeri ini. Kita semua akan hancur. Apa kau ingin itu semua terjadi?" Tanya Pater Jim yang paling pendiam diantara Pater yang lain. Pater Jim adalah guru yang bertugas mengajarkan penduduk pribumi meracik ramuan-ramuan penting dalam peperangan.

"Tapi, bagaimana jika dalam satu bulan, aku masih belum bisa mencintainya?" Tanya Zayden.

"Negeri ini hancur karena cinta. Maka, tidak ada pertimbangan tentang itu. Kelangsungan negeri dan kehidupan rakyat adalah segalanya bagi keluarga raja," ucap Pater Mark, sebagai tanda berakhirnya pembahasan rencana pertama.

Lamunan Zayden buyar, ketika Pater John keluar dari rumah dan memanggil namanya. Zayden menoleh, tersenyum sekilas pada kakeknya.

"Aku tau, ini tidak mudah. Tapi, berusahalah. Karena sejauh apapun kau menghindar, inilah takdirmu. Jika kau tidak ingin kisah tentang dirimu ini terjadi pada anakmu kelak," jelas Pater John tersenyum hangat. Benar, Pearly Land harus memiliki raja. Jika Zayden menolak itu, anaknya mungkin yang akan menggantikan posisi dirinya. Bukankah ia tersiksa dengan keadaan seperti ini? Apalagi anaknya nanti?

"Aku tidak akan membiarkan itu terjadi," ucap Zayden.

"Aku tau, karena itulah kau yang terpilih menjadi calon raja. Bukan kembaranmu," balas Pater John. Zayden sedikit terkejut. Setahun tinggal di pulau ini, tidak pernah sekalipun ia memberi tau kepada orang lain mengenai kembarannya. Maksudnya, memberi tahu bahwa ia memiliki kembaran.

"Kau tau?" Tanya Zayden heran.

"Tentu saja. Darahku juga mengalir dalam dirinya, meski hanya sekian persen," balas Pater John lagi. Sudahlah, lebih baik Zayden istirahat sekarang. Berbicara dengan seorang Pater hanya akan menambah beban di kepalanya.

***

Kapal pesiar pribadi milik keluarga Clowrine, berhasil mendarat di pulau Pearly Land. Nahkoda pribadi itu sudah tau aksesnya dan dipercaya selama bertahun-tahun. Begitulah, kurang lebih yang dikatakan oleh Clowrine pada Zae.

Kalian tau? Ada pemandangan yang luar biasa, yang baru saja Zae lihat. Saat di kapal pesiar, Zae tidak bisa melihat apapun. Hanya kabut diantara luasnya samudra. Namun, saat Clowrine menjentikan jarinya dengan membaca mantra tanpa suara, kabut itu hilang. Kemudian, nampaklah pulau asri nan indah tak jauh di depan mata.

Clowrine membawa Zae dan suaminya, memasuki kawasan yang terdiri dari banyak pohon Pinus. Ah ya, diantaranya ada yang gosong, entah apa sebabnya. Sampai akhirnya, mereka tiba di sebuah lapangan yang cukup luas.

Di sebelah kanan lapangan itu, terdapat bangunan seperti ruang kelas, hanya saja terlihat lebih kuno karena ornamen-ornamen uniknya. Di sebelah kiri lapangan, terdapat empat rumah berjajar, dengan atap putih. Sisanya, rumah² yang tersusun menyebar disekitar daerah itu, dengan atapnya yang berwarna coklat. Zae dapat melihat, seluruh rumah yang bentuknya sama, rumah panggung.

Clowrine membawanya ke bangunan tengah di seberang lapangan dari tempatnya berdiri, lebih tepatnya, bangunan yang diapit oleh sekolah dan rumah beratap putih. Bangunan ini sedikit berbeda, seperti sebuah kantor di dunia manusia pada umumnya, hanya saja tetap ada unsur unik pada bangunannya.

Mereka masuk ke ruangan itu. Terlihat dua orang lelaki sudah berumur dengan jubah putih, sementara yang satunya berjubah hitam. Kedua lelaki itu tersenyum, menyambut kedatangan mereka.

"Azalea, cucuku," ucap lelaki berjubah putih. "Perkenalkan, aku Pater Mark, kakekmu. Ayah dari ibumu."

Zae tersenyum kaku. Ini pertama kalinya ia melihat wajah kakeknya. Selama ini, orang tuanya selalu mengatakan bahwa kakeknya tinggal di luar negeri. "Se-senang bertemu dengan mu," sahut Zae.

"Aku ingin menitipkan putri kesayanganku disini," ucap Clowrine. Zae merasakan ketidaknyamanan dalam obrolan kali ini. Mereka adalah ayah dan anak, tapi mengapa seperti ada sekat diantara keduanya.

"Kamu tenang saja, kami akan menjaganya dengan baik, benarkan John?" tanya Pater Mark seraya melirik lelaki berjubah hitam disampingnya.

"Ya, tentu saja. Calon suaminya pun akan turut menjaganya," sahut Pater John. Ah! Zae melupakan hal itu. Namun, diingatkan tanpa sengaja seperti ini sangat menyakitkan baginya. Bayangan Rayen masih jelas dalam pikirannya.

"Jaga dirimu baik-baik," ucap Clowrine. Ia mengusap puncak kepala anaknya dengan sayang.

"Bunda...akan menginap disini kan?" Tanya Zae harap cemas. Ia ingin sekali kekhawatiran dalam dirinya tidak terjadi, meskipun nyatanya Clowrine menggelengkan kepalanya. Mata Zae mulai mengembun. Ia menoleh pada Sam, ayahnya. Namun, Sam hanya menunjukkan wajah bersalahnya, seolah meminta maaf pada putrinya.

"Kami pamit, sekali lagi, aku titip putriku."

Setelah kalimat itu, kedua orang tua Zae keluar dari ruangan. Zae hanya bisa terpaku, melihat dua orang itu pergi dari sana. Dari hidupnya, entah kapan akan bertemu lagi. Air matanya pun sukses mengalir.

"Ayah...bunda..."

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jun 04, 2022 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

The Hidden LandTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang