Seluruh murid di SMA Cendekia pasti tau siapa itu Aiden. Salah satu anggota OSIS yang nyaris sempurna secara fisik; tubuh tinggi, kulit putih, rambut dan bola matanya yang hitam menawan. Namun, berbanding terbalik dengan kembarannya, Zayden. Tidak banyak orang yang tau mengenai dirinya, kecuali sebagai kembaran Aiden dan untuk membedakan mereka cukup lihat bola matanya yang coklat.
Sejak kecil, Arjunandra, ayah dari keduanya selalu memperlakukan mereka dengan tidak sama. Ia seringkali lebih cenderung memperhatikan Zayden ketimbang Aiden. Disatu sisi, Aiden tidak menyukai diskriminasi itu dan disisi lain, Zayden juga tidak menyukai sikap ayahnya. Itu membuatnya merasa terkekang dalam belenggu peraturan ayahnya.
Seperti sore ini, ketika Zayden pulang lebih lambat dari Aiden. Ia melenggang masuk rumah tanpa melirik sedikitpun pada ayahnya yang sedang duduk menanti dirinya dengan cemas.
"Kemana saja kau?" tegur sang ayah seraya berdiri menghampiri. Zayden hanya menoleh tak menghiraukan pertanyaan itu.
"Anak tidak tahu diri! Sampai kapan kau akan seperti ini?!" tegas sang ayah yang kesal karena Zayden tidak pernah mengerti maksud baik terhadap apa yang selama ini ia lakukan. Zayden berhenti dan berbalik, menatap ayahnya dengan wajah datar.
"Biar ku tanya balik. Sampai kapan ayah akan terus mengawasi ku seperti anak kecil?" lontar Zayden mengernyitkan dahinya.
"KAU?!"
Zayden menegakkan kepalanya saat melihat tangan sang ayah nyaris mengenai pipinya. Tapi, hati sang ayah tidak tega melakukannya membuat tangan itu melayang di udara.
"Mengapa ayah tidak lakukan?" desis Zayden. Arjunandra hanya berdiam diri membuat Zayden mendengus sinis dan pergi meninggalkan perdebatan itu.
Di kamarnya yang super besar, Zayden melempar tasnya sembarang arah. Emosinya meluap. Ia menendang apapun yang ada dihadapannya. Sejak kecil ia benci diperlakukan seperti ini, bahkan sampai usianya nyaris 18 tahun. Zayden ingin kebebasan layaknya Aiden.
Ia terus merenungi apapun yang baru saja terjadi. Tiba-tiba angin kencang menyusup kamar, membuat gorden berkibar karena jendela yang belum tertutup rapat. Zayden menoleh dan berjalan dengan niat menutup jendela. Saat tepat tubuhnya menatap luar jendela, seberkas cahaya perak merasuk kedalam tubuhnya, membuat ia terpental jauh dan jatuh ke dinding kamar dekat pintu.
Remuk. Itulah yang saat ini ia rasakan. Detak jantungnya berpacu cepat. Tangannya yang mengepal mulai memunculkan cahaya perak.
"A...da apa ini?" gumamnya berusaha bangkit dan melawan rasa sakit itu. Sementara dirinya berhasil berdiri, membuka pintu kamar, dan menuju ruang keluarga untuk mencari bantuan. Meskipun ia sendiri tidak tau apa yang terjadi.
Dengan susah payah Zayden merambat pada meja. Melangkah dengan sisa-sisa tenaga. Tepat saat dirinya akan ambruk, sang ayah datang menopang tubuhnya.
"Ayah," panggil Zayden lemah. Arjunandra tidak mengatakan apapun. Ia membuka kepalan tangannya yang mengeluarkan cahaya yang sama dengan apa yang terjadi pada Zayden. Memusatkan telapak tangannya pada dada sang anak hingga rasa sakit itu menghilang dalam sekejap.
"Sudah saatnya kamu tau semuanya," ucap Arjunandra pada akhirnya.
***
"Zae semangaaat!" teriak gadis berambut hitam lurus sepunggung itu sambil menatap perempuan berambut coklat tua yang dicepol sedang bertarung di atas matras khusus bela diri pencak silat. Riuh tepuk tangan dan panggilan nama Azalea terus menggema kala gadis itu berhasil menjatuhkan lawannya.
Detik berganti menjadi menit, Zae terus bertanding melawan laki-laki dihadapannya.
"Jangan mengalah dariku, Rayen. Keluarkan semua kekuatanmu," ucap Zae bersemangat. Rayen tersenyum, ia menyukai sikap pemberani gadis dihadapannya itu. Tepat, saat Rayen menyerang gadis itu dengan sebuah tendangan telak di dadanya, gadis itu terpental jauh. Cukup jauh hingga seluruh penonton di podium tidak mempercayai hal yang baru saja terjadi.
Zae tergeletak di lantai setelah menubruk meja dewan juri yang jaraknya tiga meter dari matras pertandingan. Lave, laki-laki yang memiliki wajah Zae versi lawan jenis, segera berlari menuju kembarannya.
"Kau baik-baik saja?" Tanya Lave khawatir. Siapapun yang melihat kekhawatiran Lave, seketika menginginkan Lave menjadi kakak laki-laki mereka.
"Bawa aku pulang, Lave," lirih Zae dalam gendongan sang kakak.
"Enggak, kita harus ke rumah sakit," tukas Lave memutuskan. "Ray, tolong parkir mobil gue, kita bawa Zae ke rumah sakit."
Rayen mengangguk dan segera pergi untuk mempersiapkan apapun yang Lave katakan.
***
Di rumah sakit, dokter yang memeriksa keadaan Zae keluar dari ruangan pemeriksaan. Ia mengerutkan keningnya, sesekali menggeleng tidak masuk akal.
"Ada hal yang perlu saya sampaikan. Apa kalian yakin, nona Zae jatuh terpental karena tendangan Rayen?" Tanya dokter pribadi keluarga Lave.
"Iya dok, saya melihatnya," sahut Lave membenarkan.
"Begini nak Lave. Hasil pemeriksaan medis tidak ada luka sama sekali pada tubuh bagian luar atau dalam pada nona Zae. Saya heran, mengapa ia bisa kesakitan seperti itu," jelas sang dokter.
"Bagaimana bisa? Padahal ia benar-benar kesakitan tadi," Ucap Rayen heran.
"Saya juga heran. Tapi kalian tenang saja, saya sudah memberikan obat pereda nyeri. Dan saya sarankan untuk beberapa hari nona Zae menginap disini, agar lebih mudah mengontrol kondisi kesehatannya," jelas dokter itu lagi. Setelahnya, sang dokter pun berlalu dengan menyisakan tanda tanya besar pada Lave dan Rayen.
***
Esok harinya, lelaki berwajah keturunan Arab itu berjalan di lorong rumah sakit sembari membawa sekotak coklat berbentuk hati. Setibanya di depan ruang rawat inap VIP, ia membuka pintu. Memberi salam pada seorang lelaki sepantarannya yang kebetulan hendak keluar dari ruangan itu, lalu bergegas menghampiri sang gadis di atas ranjang rumah sakit.
"Hai, Ray," sapa Zae tersenyum. Rayen balas tersenyum, kemudian membuka kotak coklat itu dan menyuapi ke mulut Zae.
"Maaf," ucap Rayen pada akhirnya. Perasaan bersalah menghampirinya sejak kemarin.
"It's okey, gue baik-baik aja," balas Zae masih dengan senyumannya. Rayen mengelus kepala gadis itu dan Zae menghentikan perlakuan itu. Membuat Rayen tersenyum sendu. Zae tetap pada prinsipnya untuk menggapai impiannya terlebih dahulu, baru memulai persoalan hati mereka.
Hening. Sampai akhirnya Lave masuk kembali ke dalam ruangan dengan membawa makan siang untuk keduanya.
"Kalian makan dulu ya, gue udah beliin nih," ucap Lave membuka bungkus makanan itu di atas meja.
"Gue mau pulang, Lave. Apa kabar bunga di taman rumah," ucap Zae memohon.
Sejak pagi, Zae selalu meminta hal itu. Tapi Lave melarangnya karena kondisi Zae yang menghawatirkan. Lebih menghawatirkan karena tidak bisa terdeteksi penyakitnya. Setidaknya, jika Zae di rumah sakit akan mudah mendapatkan pertolongan sewaktu-waktu.
"Enggak, tunggu ayah dan bunda," sahut Lave seraya berjalan ke sisi berbeda ranjang rumah sakit untuk menyuapi Zae. Saat Lave ingin menyuapkan sesendok nasi, Zae justru menutup mulutnya sebagai bentuk protes pada kembarannya itu.
"Ray, sejak kapan sih gebetan lu keras kepala kayak gini?" Tanya Lave, menjalankan rencana kedua untuk memaksa Zae memakan makanannya.
"Kayaknya gue tau cara buat bikin dia makan," ucap Rayen tersenyum jail.
Zae menelik ke arah Rayen dan bergantian ke arah Lave.
"Gimana caranya?" Tanya Lave semangat.
"Suapin Mouth to Mouth," sahut Rayen membuat Zae sukses membulatkan matanya. Lave dengan mimik wajah jahatnya memberikan makanan itu pada Rayen. Zae semakin panik dibuatnya.
"GILA!! Mana ada, gue makan sendiri!" Tukas Zae cepat-cepat mengambil makanan di tangan Rayen dan melahapnya dengan cepat, membuat Rayen dan Lave tertawa karenanya.

KAMU SEDANG MEMBACA
The Hidden Land
RomanceAzalea tidak pernah berpikir dirinya harus meninggalkan Rayen, demi kehidupan yang entah seperti apa. Ia tidak mengerti jalan takdirnya sendiri. Dipertemukan dengan sosok Zayden di kehidupan barunya menambah beban dalam hidupnya. Menahan amarah dan...