Jeong Jaehyun as Rakai Sagara
Shin Ryujin as Esmee Arashi
•••
Peperangan masih terus berlanjut dengan panas. Seluruh negara dari berbagai belahan bumi berlomba-lomba menjadi juara atas pertandingan yang entah siapa yang memulai. Sudah dentuman meriam ke tiga belas yang tertangkap gendang telingaku. Walaupun perempuan tidak boleh turut andil dalam peperangan, tetapi bukan berarti kaum kami tidak terkena dampak atas keserakahan orang-orang yang berkuasa.
Setiap hari ku jalani waktu dengan berlarian dari kamp ke kamp. Menyusuri reruntuhan bangunan yang turut mendistribusikan debu yang mengganggu organ pernapasan. Tak sedikit rombonganku yang tidak selamat ketika berpindah antar kamp. Meskipun kami selalu bergerak ketika gaum gencatan senjata dikumandangkan, tetapi tetap saja ada beberapa pasukan yang melancarkan pembantaian, bahkan terhadap perempuan dan anak-anak. Namun, sejauh ini aku dapat menyelamatkan apa yang mampu aku selamatkan. Ya, menyelamatkan diri. Hanya itu yang tersisa dan bisa aku andalkan.
Sudah satu tahun peperangan ini berlangsung. Sudah satu tahun pula aku terpisah dengan ayah dan kakak laki-lakiku. Sebagai abdi negara, mereka dikirim ke perbatasan di mana peperangan paling panas terjadi. Tidak ada kabar, tiada berita, aku yakin sinyal di sana sudah lama diputus dan hanya mampu dijangkau oleh orang yang berkepentingan saja. Setiap hari aku hanya mampu mendoakan agar mereka berdua dapat kembali bersamaku. Aku kini hidup sebatang kara, ibuku bahkan sudah meninggalkanku sejak bayi. Entah di mana ibu berada sekarang. Di mana pun itu, semoga kebahagiaan selalu menyertainya.
Setelah berjalan hampir 7 kilometer, akhirnya kami tiba di kamp yang lebih besar dan nyaman. Fasilitasnya memang tidak senyaman kehidupanku tahun lalu, tetapi paling tidak akses air di sini mampu memenuhi kebutuhan primer kami. Aku bergegas menuju bilik untuk mandi. Setelah hampir seminggu tidak menyentuh air, dengan kulit yang tidak terkena penyakit saja menurutku adalah suatu keberkahan.
Jarak antara kamp dan bilik mandi terpaut sekitar 50 meter, sehingga aku harus membawa lentera untuk menerangi pijakan kakiku. Sunyi sekali, hanya ada suara jangkrik yang menemani suara pijakan kakiku di atas rumput gajah yang tingginya hampir sebetis. Dengan cepat, aku menyelesaikan mandiku yang tidak terlalu bisa disebut mandi karena aku bahkan tidak menggunakan sabun. Persediaan sabunku sudah habis minggu lalu, beruntungnya setelah peperangan terjadi, aku dan kawan satu kampku dapat beradaptasi sehingga kami mampu membuat 'sabun' dari bunga kasturi yang tumbuh liar di sekitar kami.
Baru satu langkah kakiku keluar dari bilik, keributan terdengar dari arah kamp. Suara bariton bergema hingga terdengar dari jarak sejauh hampir 50 meter ini. Mataku membelalak terkejut tak karuan. Tidak. Tidak mungkin pasukan Valhalla menyerang warga sipil, terlebih lagi perempuan dan anak-anak. Aku bergegas berlari menuju kamp sekencang yang aku mampu. "Di mana persembunyian Jenderal Elio?" Suara itu terdengar begitu menuntut, berwibawa, dan.. berkuasa. Segara aku membuka pintu kamp dengan kencang—hampir ku banting. Seluruh pusat perhatian berubah menjadi tertuju kepadaku termasuk pandangan mata satu-satunya lelaki dewasa yang ada di dalam kamp.
"Nona Esmee, putri bungsu dari Kolonel Jehuda dan adik Letnan Eijaz yang tengah bertugas di titik meridien utara."
Nafasku tercekat. Sudah lama sejak terakhir kali seseorang menyebutkan nama ayah dan kakak. Situasi macam apa yang sedang terjadi sekarang? Mengapa pria tersebut seakan-akan tengah mengancamku?
Dengan langkah yang mantap, pria itu melangkah tenang mendekati tempat aku berpijak. Mata kami terus beradu tanpa jeda barang sedetik pun. Aku tidak boleh gentar. Bibirnya yang aku percaya sering bersentuhan dengan cerutu tersenyum meremehkan. Aku mengangkat alis sebagai balasan.
"Esmee Arashi, suatu kehormatan untuk bertemu denganmu." Pria tersebut kemudian menundukkan tubuhnya sopan.
Situasi ini terlalu membingungkan bagiku sehingga aku tidak mampu memberikan reaksi apa pun. Melihat wajahku yang bingung, ia kemudian berkata, "Perkenalkan, Rakai Sagara. Meskipun kita berada di kubu yang berbeda, aku harap kita bisa berkomunikasi dengan baik."
KAMU SEDANG MEMBACA
Bumi Hangus
Historical FictionSemenjak malam itu aku menerka, gurat mana dari garis tanganmu yang berarti namaku. Namun, kini aku berhenti. Seharusnya aku sudah tahu jawabannya sedari kamu menginjakkan kaki di Halimun.