01 | Investor

19 5 0
                                    

Tiga bulan berlalu sejak pernikahannya dibatalkan, sikap Eina semakin dingin terhadap laki-laki. Jika dulu gadis berusia 28 tahun itu dikenal pemilih dalam berteman, sekarang justru ia tidak akan pernah memilih siapapun lagi.

Eina sudah kehilangan rasa percaya terhadap orang lain. Terlebih, laki-laki yang ia cintai dan sahabat yang sangat dipercayai berkhianat di belakang.

Jadi, jangan salahkan Eina jika sekarang ia menjadi si gila kerja yang hanya menghabiskan waktu untuk mencari uang.

Setidaknya, uang tidak akan berkhianat.

"Ei, kamu lembur lagi?" Suara cemas Kinan terdengar dari dalam ponsel yang diletakkan di atas meja. Sepertinya sudah empat kali panggilan tidak dijawab dan ini adalah yang kelima.

"Iya Ma. Jangan tunggu aku." Eina berbicara tanpa menatap ponsel. Jemarinya lincah mengetik huruf demi huruf di atas keyboard sedangkan matanya fokus menatap layar komputer.

"Ya ampun Ei... Sudah cukup. Gak ada yang memintamu lembur, kan? Papa bilang kerjaan juga lagi gak banyak. Kamu pulang ya nak? Jangan menyiksa diri seperti itu."

Memang benar, belakangan ini percetakan ayahnya sedang sepi. Bisa dibilang perusahaan kecil itu tengah berada di ambang kebangkrutan sampai tidak bisa membayar upah lembur karyawan. Tapi, karena malas di rumah dan tidak ingin terlihat menyedihkan atas batalnya pernikahan, Eina memilih menyibukkan diri dengan cara sepeti ini.

"Pulang ya nak... Papa sama Mama mau bicara sama kamu," ucap Kinan memelas. Air mata wanita paruh baya itu sudah merembas di pipi. Sedih karena putri semata wayangnya harus mengalami semua ini.

Melihat mamanya terus-menerus seperti itu, akhirnya Eina melunak. Mungkin ia sudah keterlaluan karena mengabaikan kesedihan mamanya. Padahal, yang terluka bukan hanya ia sendiri. Mama dan papanya juga pasti terpukul dan malu karena sudah sampai menyebar surat undangan.

"Hh... Ya udah aku pulang." Eina memutuskan dengan berat hati.

Sebenarnya, Eina sudah tidak memikirkan soal pernikahannya yang batal. Ia malah sedang sibuk menyiapkan novel untuk diterbitkan dan berinvestasi di sana-sini. Yang membuatnya malas berada di rumah justru karena orang tuanyalah yang terus membahas soal itu. Seolah-olah hidupnya sangat menyedihkan sampai harus dihibur dengan berbagai macam cara.

"Kali ini mau ngobrolin apa lagi?" Tanya Eina to the point sesampainya di rumah.

Kinan tersenyum hangat. Menggenggam tangan putrinya yang dingin setelah berkendara. "Ke ruang tamu dulu yuk. Papa udah nunggu di sana."

Eina yang lelah, tidak bertanya apa-apa lagi. Ia hanya mengikuti Kinan menuju ruang tamu tanpa prasangka apapun.

"Eina, perkenalkan, ini nak Fathur yang akan menjadi investor perusahaan kita." Gani memperkenalkan. "Dan nak Fathur, ini Eina putri satu-satunya yang kami miliki."

Fathur? Eina merasa tidak asing dengan nama itu tapi ia tidak yakin apa mereka pernah saling bertemu sebelumnya?

Tunggu. Sepertinya ada yang janggal di sini. Eina memicingkan mata, menyisir laki-laki bernama Fathur dari ujung kaki sampai kepala, kemudian menatap kedua orang tuanya bergantian.

"Bisa jelasin maksudnya apa?" Eina berbisik pada papanya.

"Ehm." Gani berdehem sejenak. "Jadi begini nak, nak Fathur ingin berinvestasi di perusahaan kita walaupun tahu kondisinya nyaris bangkrut."

"Terus?" Eina menuntut penjelasan lebih. Menurutnya tidak masuk akal seseorang ingin berinvestasi di perusahaan yang hampir bangkrut, kecuali jika ada maksud terselubung.

OUR PERFECT WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang