03 | Hukum Tabur Tuai

19 5 1
                                    

Lagi-lagi tidak ada pekerjaan.

Entah sudah berapa kali Eina menghela napas pasrah. Melihat para pegawai di kantor papanya menganggur, Eina semakin hilang harapan.

Sepertinya, memang sudah saatnya untuk menerima kenyataan; menjadi gelandangan.

Yah, memang tidak separah itu, tapi anggap saja hartanya sudah habis semua.

Bian Benar. Perusahaannya sekarat.

"Hh... Aku keluar sebentar ya, Ci." Eina mengambil dompet dan ponsel. Untuk menghilangkan stress, sepertinya ia harus minum espresso di kafe seberang kantor.

"Oke Mbak."

Suasana kafe Louise selalu bisa mengubah mood menjadi lebih baik. Entah karena lagunya, menu cake, minuman, atau tempatnya. Bagi Eina, duduk sendirian di kursi bawah jendela kafe Louise adalah healing terbaik. Ditambah, ia selalu mendapat free secangkir kopi jika habis.

"Untuk pelanggan setia." Seorang laki-laki berwajah oriental meletakkan secangkir coffe latte di meja Eina.

Eina tersenyum

Ups! Gambar ini tidak mengikuti Pedoman Konten kami. Untuk melanjutkan publikasi, hapuslah gambar ini atau unggah gambar lain.

Eina tersenyum. "Terima kasih, Daren, lagi-lagi aku dapat minuman gratis."

"Anything for you." Daren mengerlingkan sebelah mata. Suatu hal yang sudah biasa ia lakukan pada Eina bahkan di saat Eina masih memiliki tunangan. "Aku tinggal ya. Selamat menikmati."

Menanggapinya, Eina hanya mengangguk. Daren memang selalu bersikap manis pada siapapun, makanya rata-rata pelanggan di kafe Louise adalah perempuan.

Sedang asyik menikmati cafe latte buatan Daren, tiba-tiba mood-nya harus rusak lagi karena sepasang pengunjung yang datang; sepasang pengkhianat yang juga sering datang ke kafe Louise atas rekomendasinya. Danu dan Claudia.

Sejujurnya, rasa cemburu itu tidak ada sedikit pun di hati Eina. Entah melihat mereka bergandengan atau berpelukan, Eina sudah tidak peduli, hanya saja ia tidak sudi berada di tempat yang sama dengan para pengkhianat itu.

Makanya, Eina memutuskan pergi meski minumannya masih tersisa banyak.

"Eina?" Sayangnya, sebelum Eina sempat menghindar, dua manusia tidak tahu malu itu malah menghampiri mejanya. "Kamu sendirian aja?"

"Hm, iya." Eina menjawab seadanya sambil mengambil dompet dan ponsel di meja.

"Loh, mau kemana buru-buru? Kopimu masih belum habis, kan?"

Rasanya, Eina ingin menyiram wajah Claudia dengan kopi panas. Bisa-bisanya wanita itu bersikap sok manis setelah merebut calon suaminya!

"Kalau kamu mau, buatmu saja. Kamu suka sesuatu yang bekas, kan?" Balas Eina sarkas.

"Apa kamu bilang?!" Tidak terima dihina seperti itu, Claudia memasang taring. Sekarang, Eina malah tersenyum sinis melihat ekspresinya yang seperti iblis.

Kamu telah mencapai bab terakhir yang dipublikasikan.

⏰ Terakhir diperbarui: Jul 21 ⏰

Tambahkan cerita ini ke Perpustakaan untuk mendapatkan notifikasi saat ada bab baru!

OUR PERFECT WEDDINGTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang