"Eina! Sini!"
Diteriaki sekencang itu, tentu saja menarik perhatian banyak orang. Eina tersenyum kikuk. Rupanya, Rara tidak banyak berubah sejak dulu. Masih cantik dan periang.
"Maaf ya, padahal aku yang minta ketemuan di kafe ini, tapi malah aku yang telat." Sesal Eina. Padahal ia sudah berusaha tepat waktu, sayangnya jalanan macet parah sampai ia merasa kesal sendiri tadi.
"Kalem. Aku juga baru habis satu gelas kok." Rara berkelakar. "Duh lama banget gak ketemu ya... Kamu makin cantik aja deh Ei..."
Mungkin jika Eina di jaman SMA dulu ia akan menjawab, "Ya pasti dong. Bukan Eina namanya kalau gak cantik!" Dengan pede dan angkuh. Namun, sekarang Eina hanya tersenyum menanggapi pujian seperti itu.
"Kamu masih sama kayak dulu." Eina berkata jujur.
"Masa? Tapi iya sih, banyak yang bilang gitu hehehe..."
Ah, apa hanya hidupnya saja yang jungkir balik? Eina mendesah pelan. Merasa dunia ini tidak adil padanya.
"Enak ya. Kalau hidupku udah berubah drastis." Eina berkata lirih. Lebih seperti gumaman yang tidak ingin ia perjelas. Meski begitu, rupanya Rara cukup memiliki pendengaran yang bagus.
"Yah... Namanya juga hidup, Ei, gak selalu yang di atas bakal di atas terus. Ada saatnya turun, terus naik lagi, turun lagi, gitu aja sih biar seru."
"Kamu lagi menghiburku?"
"Anggap aja begitu hehehe."
Untungnya, meski sudah lama tidak berkomunikasi, percakapan diantara mereka tetap mengalir seperti dulu. Apa saja yang dibahas selalu terasa menyenangkan.
"Aku udah denger sih soal bisnis keluargamu yang mulai lagi dari nol. Pasti sulit ya Ei buat kamu?"
Entah Rara tahu soal itu dari mana, Eina hanya mengangguk dengan wajah masam. "Dan perusahaan yang sekarang udah mau bangkrut lagi. Jadi mungkin kali ini keluargaku benar-benar akan jatuh miskin. Tabungan juga udah habis."
"Sabar ya Ei..." Rara mengusap tangan Eina prihatin. "Aku yakin kok pasti ada sesuatu yang udah Tuhan siapkan buat kamu dan keluargamu. Dan soal pernikahan kamu yang batal... Aku juga yakin pasti ada laki-laki yang jauuuh lebih baik dari mantan kamu itu."
"Kok kamu juga tahu soal itu?" Eina merasa heran. Jelas-jelas ia tidak menyebarkan undangan ke teman sekolah. Yang diundang pun hanya teman kampus, kerjaan, dan kerabat dekat.
"Ah itu... Gimana ya bilangnya?" Rara memasang ekspresi bingung. Sementara Eina menunggu penjelasan yang masuk akal.
"Sebenarnya aku follow akun sosial media kamu tapi pake fake account."
"Buat?"
"Ya... Buat cari tahu kabar kamu lah. Masa gak boleh?"
"Ya ampun, Ra, kamu kan bisa kontak aku langsung. Aku pasti balas kok. Emang kamu pikir aku sesombong itu?"
"Hehehe." Rara hanya tertawa canggung.
"Yah, pokoknya jangan bahas soal laki-laki itu deh. Anggap aja kamu gak tahu apa-apa soal itu."
"Oke... Oke kita skip aja." Rara mengibaskan tangan. "Jadi soal Bian kamu mau tanya apa aja? Yakin cuma mau tau dia tinggal dimana?"
Bian.
Eina menghela napas perlahan. Sepertinya ia tidak butuh jawaban dari Rara lagi karena Bian sendiri sudah menghubunginya semalam.
Jika membahas soal Bian, apa Rara masih ingat soal kejadian hari itu?