Satu

218 34 2
                                    

Jiwa adalah dalang.

Yang mengendalikan raga, juga meninggalkan jika tiba waktunya.

Raga adalah wayang.

Yang dikendalikan jiwa, tanpa membangkang. Hingga akhirnya ditinggal pergi.

Jiwa dan raga. Dua hal yang menarik untuk dipermainkan.

Ketika jiwa mengendalikan raga, di situlah pertunjukan dimulai. Semua yang diinginkan jiwa akan segera dilaksanakan raga. Hampir semua kisah yang kusaksikan ini, tiada yang lebih menarik ketimbang melihat kedua hal berusaha tetap bersama meski ujungnya akan berpisah juga.

Tanpa jiwa, raga tiada guna.

Tanpa raga, jiwa pun bukan apa-apanya.

Ketika disatukan, terciptalah makhluk yang akan menjalani masa baru bersama kedua jiwa dan raga. Dengan bebas mengendalikan maupun dikendalikan oleh jiwa yang tanpa disadari telah menjadi bagian dari diri.

Ia akan bersuka cita maupun bermuram durja. Jiwa yang mengendalikan, sementara raga hanya akan menampung jiwa yang merapuh di kala duka maupun menampung amarah yang dipendam. Selagi raga mampu menahan, tidak akan ada masalah besar.

Namun, jika jiwa berhasil mengendalikan raga dengan sempurna, maka pasrahlah. Karena selanjutnya yang terjadi hanya penyesalan. Kebanyakan terjadi di kala amarah menguasai, pikiran pun tidak mau jernih selagi raga gemetar hendak menghajar apa saja yang terlihat.

Itulah peran jiwa dan raga dalam satu wadah yang disebut "makhluk." Keduanya berperan langsung dalam hidup makhluk tadi. Dari bangun tidur, hingga kembali tidur. Semua dikendalikan oleh jiwa sementara raga sebagai penampung.

Tentu saja, semua ada batasnya.

Ketika raga melemah, entah terasa singkat atau panjang, akan tiba waktu di mana jiwa harus meninggalkan raga. Ketika perpisahan singkat itu selesai, maka terbentuklah jiwa dan raga baru pula. Untuk makhluk baru dan kehidupan lain setelahnya.

Sayangnya, aku tidak tertarik dengan siklus sederhana ini.

Bagaimana jadinya jika jiwa tidak merasa puas dengan permainan yang begitu singkat?

Apa jadinya jika makhluk itu belum sempat menepati sebuah janji dan justru ajalnya tiba saat itu juga?

Bagaimana jika raga masih sempat berlari dengan bebas di hamparan padang rumput yang hijau, justru terkulai lemah kala jiwa meninggalkannya karena itu tugasnya? Raga pasti tidak akan senang.

Sangat disayangkan jika kehidupan hanya begitu saja siklusnya.

Karena sudah saatnya aku menunjukkan sedikit eksperimen yang menyerupai para dewa, dilahirkan kembali.

Tidak semua dewa dapat mencapai tahap lahir kembali–reinkarnasi. Apalagi makhluk di bawahnya. Terlebih jika niatnya hanya sekadar mencicipi kehidupan untuk kedua kalinya.

Aku bukanlah dewa, namun bukan juga makhluk yang kedudukannya lebih rendah. Aku memiliki daerah kekuasaan serta kekuatan. Tapi, juga harus tunduk pada sejumlah aturan yang mengikat. Salah satunya yaitu dengan diberi batasan siapa yang bakal kupilih.

Ini hanya eksperimen kecil yang akan kucoba kepada dua anak yang sebentar lagi lahir.

Sepasang kembar, lelaki dan perempuan.

Reincarnation Without A Goal [END]Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang