Fakta Sang Rasa

3 4 0
                                    

Namaku Aldian Rohman, sebenarnya aku tak menginginkan terlahir dari keluarga yang terpandang, apalagi terpandang dari segi agama. Sungguh sifat dan kelakuanku sangat bertolak belakang dari gelar keluargaku yakni aku adalah anak sulung dari seorang Ustad yang terkenal di kampungku mereka biasa menyebut Ayahku Kyai Somad. Karena memang, di kampung ini Ayah memiliki pondok pesantren Yaitu Pondok Al Fatah yang artinya Pembuka Rahmat.

Di suatu malam, saat aku baru pulang dari Club berpapasan dengan gadis cantik yang sedang berjalan menuju asrama putri, mungkin dia adalah salah satu murid Ayahku. padangan kami bertemu tetapi dia cepat-cepat menundukkan kepalanya. Aku yang setengah sadar karena mabuk terpengaruh alkohol tadi waktu di Club, langsung saja mencengkal tangan gadis itu. Dia nampak terkejut, dan aku mulai membelai pipinya dia semakin gemetar dan ketakutan, saat aku hendak mencium bibir gadis cantik itu, sebuah bogeman mentah mendarat ke pipiku.

Bughh!

"Kurang ajar kamu Aldi, biasa-bisanya berbuat seperti itu pada Aisyah!"

Suasana pesantren menjadi ramai karena suara ayahku menggelegar hingga semua murid ayahku pun, berlari keluar berhamburan.

 
"Ayah, kenapa sih?. Dia istriku. Sini sayang peluk abang Aldi." racauku tanpa sadar, dengan sempoyongan ingin mendekati gadis itu. Tetapi beberapa orang menggotongku, detik itu juga aku tak sadarkan diri, karena pingsan.

"Astagfirullah Aldi." ucap Ayahku, di sela kesadaranku yang mulai hilang.

Bagaskara mulai menyapu wajahku, aku lekas bangun dan segera ke kamar mandi untuk membersihkan tubuh.

 
Seusai mandi, aku merasa fresh dan berjalan menuju sofa kamar. Lalu menyesap sebatang rokok, perlahan ingatanku tertuju pada kejadian malam tadi.

"Gimana kabarnya gadis itu? Ah, bodo amat. Bukan urusanku." gumamku.

Jam menunjukkan 11 siang, aku siap-siap untuk hang out bersama teman-temanku. Meskipun aku tinggalnya di pesantren tetapi semua sahabat dan temanku berada di luar semua. Tak ada satu pun temanku di dalam pesantren, kecuali dia. Semua penghuni pesantren sini, memang sangat takut terhadapku, karena sikap dan tindakan yang kasar yang kerap kali aku tunjukkan pada mereka. Tidak ada yang protes atas tindakan itu, mungkin karena tidak enak pada Ayahku yang mereka hormati selama ini.

"Mau ke mana kamu Aldi?"

"Bukan urusan anda!" jawabku acuh.

"Aldi, semakin hari kamu semakin jadi anak yang pembangkang. Mau jadi apa kamu hah?"

"Sudah kujawab, bukan urusan anda!"

"Oh, jadi kamu mau ngikutin kehidupan pelacur itu, iya, Aldi itu mau kamu!"

Ayahku berang membentakku.

"Jangan, sebut Ibu saya sebagai pelacur. Karena tuduhan itu semua tidaklah benar!"

"Tahu apa kamu? Yang jelas kamu tidak boleh mengikuti tindakan dosa wanita itu!"

"Haha dasar lelaki bodoh. Hanya sebuah foto anda percaya begitu saja, hingga membuat perempuan yang aku muliakan meninggalkan dunia ini."

"Saya jadi kasihan, murid di sini mendapat pengajar, yang nyatanya bodoh!"

"Dasar kurang ajar!" Ayah hendak memukulku tetapi berhasil aku tepis.

"Apa? Sudah sana. Tuh, muridnya di ajarain biar pintar gak kayak gurunya!"

Ejekku pada Ayah dengan senyum meremehkan. Sedetik itu juga wajah ayahku merah padam, tak kupedulikan itu. Segera kuberanjak pergi meninggalkannya.

Kumpulan Cerpen Dan ProsaTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang