PROLOG

16 3 0
                                    

"Kamu berhenti karena merasa gagal? Gagal yang sebenarnya itu ketika kamu berhenti berusaha."
_ILLYSS_

______________________________

Seseorang pernah berkata, jika kamu tidak bisa mengikhlaskan apa yang menimpa hidupmu, maka cukup terima itu. Tidak perlu memaksa untuk ikhlas bila itu sulit, tapi cobalah terima hingga akhirnya bertemu ikhlas tanpa tapi.

Huftt, ya. Andai saja bisa semudah itu merealisasikan teori.

Nyatanya hidup tidak pernah berjalan semulus itu. Selalu saja ada hal yang membuat kita meragukan ketentuan takdir. Tapi bukankah selalu ada harapan disetiap kegagalan dan kekecewaan?

Harapan itu pula yang membuat gadis itu tetap berdiri kokoh hingga saat ini. Gadis yang saat ini tengah menikmati suasana laut dari ujung Dermaga itu memiliki sebuah harapan besar untuk hidupnya.

Sudah semakin sore semenjak gadis itu datang, tetapi yang di lakukannya hanyalah berdiri diam memandang laut lepas, ditemani dengan boneka gurita kecil yang di dekapnya. Jilbab pashminanya yang cukup kencang tertiup angin sore pun tak ia hiraukan.

Sudah hampir dua jam dia bertahan dengan posisi seperti itu. Entahlah, baginya menghabiskan sore hari memandang luasnya hamparan laut membawa ketenangan tersendiri.

"Belva?"

Sebuah suara yang familiar disertai tepukan di pundaknya mampu mengembalikan gadis itu dari lamunannya. Tanpa berbalik dirinya tahu siapa pelaku yang memanggilnya.

"Kebiasaan banget kesini nggak ngajak-ngajak, di spam chat juga nggak bales. Udah lama?" ujar seorang gadis yang tadi memanggil si gadis Dermaga itu.

Sedangkan gadis yang dipanggil Belva tadi tetap bergeming. Pandangannya tetap pada luasnya laut, namun jelas Belva tahu betul kedatangan kedua sahabatnya yang kini tengah berdiri di sisi kanan dan kirinya.

"Nggak kok, mungkin hampir dua jam doang," jawab Belva santai tanpa mengalihkan pandangannya.

Kedua sahabatnya yang mendengar jawaban Belva hanya menggelengkan kepala mereka, sudah tak aneh dengan Belva sang penyuka laut.

"Selama itu? Kenapa nggak ajakin kita, tadi?" tanya sahabat Belva yang lain, si gadis yang memakai pashmina berwarna pastel, Zia. Kali ini Zia menghadapkan tubuhnya pada Belva, menunggu apakah kiranya alasan sang sahabat.

Belva menunduk, mengelus boneka guritanya, "Gue cuma nggak mau ganggu weekend kalian doang."

Adel, gadis di sebelah kanan Belva ikut berbalik menatapnya, dengan bersandar pada pembatas Dermaga menciptakan gesture santai, "Ckck, ganggu kata lo? Bahkan dari tadi gue sama Zia muter-muter nyariin lo karna nggak ada di rumah, ehh tahunya malah jadi patung disini," ucap Adel setengah kesal.

Belva hanya terkekeh kecil mendengar ungkapan kekesalan sahabatnya. Setelah itu suasana kembali hening, mereka bertiga kembali menatap laut yang langitnya mulai menampakkan sinar kejinggaan.

Hening cukup lama sebelum kemudian Zia berbalik mentap Belva dan Adel membuat mereka ikut melakukan hal yang sama.

"Bel, bahkan sampe sekarang pun kita nggak tahu kenapa lo suka banget kesini, liat laut. Kita ngerasa lo ada di samping kita tapi rasanya jauh banget. Emm ... belum mau cerita?" Zia memelankan suaranya di akhir kalimat.

Adel memandang Belva, ikut menunggu jawaban dari pertanyaan Zia. Cukup penasaran sebenarnya, mengingat Belva adalah tipe orang yang lebih suka memendam masalahnya sendiri. Padahal Adel sangat ingin bisa membantu sahabatnya itu.

Adel dan Zia bukannya tidak tahu. Mereka sama-sama tahu bahwa selama ini Belva sahabatnya itu tak sepenuhnya baik-baik saja. Tapi sebagai sahabat mereka tidak mau memaksa, mereka menunggu Belva menceritakan sendiri apa yang dia rasa.

KAITHALA : DO I DESERVE?Tempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang