"Jangan jadikan senyummu sebagai variabel dari usaha menutupi kesedihan."
_ILLYSS_______________________________
Cuaca pagi ini mendung. Cukup tidak mendukung mengingat hari ini adalah hari senin. Namun tidak ada yang berubah dari hari senin. Selalu saja, senin dengan segala kepadatannya.
Seperti seorang gadis yang baru saja selesai bersiap-siap. Dengan setelan seragam panjang dibalut blazer mocca kebanggaanya yang terpasang apik di tubuhnya, tak lupa juga kerudung putih yang semakin menambah kesan cantiknya.
Dia Belva, nama lengkapnya Belvana Kayra Thalassa. Setelah memastikan tidak ada yang tertinggal, Belva berjalan menuju ruang makan rumahnya. Jarak kamarnya dengan dapur tidak jauh mengingat rumahnya hanyalah rumah sederhana.
Tidak ada yang berubah, meja makan masih terlihat sepi seperti hari-hari sebelumnya. Tidak pernah terisi lebih tepatnya.
Belva tersenyum miris karena tak pernah merasakan hangatnya sarapan bersama dengan seseorang yang di sebut keluarga. Terkadang sempat terbayang di benaknya saat dirinya datang ke meja makan dan di suguhkan keluarganya dengan formasi lengkap yang tengah bercanda tawa.
Memilih untuk membawa bekal, Belva beranjak memasukkan sarapan yang telah di masaknya pagi tadi pada tiga kotak bekal, seperti biasa. Sudahlah, lebih baik segera berangkat ke sekolah dan menjalani hari seperti biasa dari pada terus berangan.
__________
"Belvaaaaaaaa."
Suara teriakan itu menggema di koridor sekolah, menyatu dengan derasnya suara air hujan yang turun pagi ini.
Pelakunya adalah Zia yang kini tengah berlari menuju Belva. Sedangkan di belakang Zia ada Adel yang memutar bola matanya malas mendengar teriakan dari sang sahabat.
Beruntung saja koridor saat ini masih lenggang karena hujan deras yang mengguyur Ibu Kota pagi ini. Baru beberapa murid yang sudah tiba di sekolah. Kebanyakan dari mereka pun memilih berdiam diri di dalam kelas menghalau udara dingin saat ini.
"Hoshh ... hoshh ...."
Zia yang berdiri di hadapan Belva nampak tengah mengatur nafasnya setelah berlari. Lumayan lelah mungkin dikarenakan tubuhnya yang kecil dan langkah
kaki nya yang pendek. Huh kenapa koridor rasanya jauh banget sii.-gerutu Zia dalam hati.Melihat Zia yang terengah-engah mengambil napas, Belva menggelengkan kepalanya pelan seraya berkacak pinggang. "Achazia Zalynda!"
"Ngapain teriak-teriak gitu huh? ini juga kenapa harus lari-lari segala coba," omel Belva.
"Lo kayak ngga tau gimana si bungsu aja Bel, dari dulu kan nggak bisa diem kayak cacing kepanasan," ucap Adel yang sudah berdiri di samping Zia dengan susu kotak vanilla yang tengah di minumnya.
Mata Zia sontak melotot mendengar ejekan Adel. Enak saja dirinya dikatakan seperti cacing, walaupun memang benar.
"Apa?!" sontak saja Zia yang ingin melayangkan protes karena perkataan Adel mengurungkan niatnya melihat Adel yang membalas pelototannya. Dalam diamnya sudah dipastikan Zia menggerutu karena tak berani melawan Adel secara langsung.
Sedangkan Belva dan Adel terkekeh melihat si bungsu mereka misuh-misuh sendiri. Jelas saja Zia yang mempunyai karakter manja menciut jika harus melawan Adel yang sudah menjadi rahasia umum adalah pemegang sabuk hitam.
Belva menghentikkan tawa nya begitu melihat Zia yang semakin cemberut. "Udah-udah, sekarang ke kelas aja. Gue bawa sarapan lagi hari ini."
Mendengar perkataan Belva, seketika mata Zia berbinar senang. "Ada bagian kita kan?"
KAMU SEDANG MEMBACA
KAITHALA : DO I DESERVE?
Teen FictionDalam hidupnya, tak ada yang lebih Belva inginkan kecuali kehangatan sebuah keluarga. Si gadis malang dengan masalah yang datang bertubi-tubi. Hidupnya mulai berubah saat Belva memasuki dunia putih abu-abu. Kehadiran sosok sahabat yang berdiri bersa...