Suasana taman sore ini tidak seramai biasanya. Pulang sekolah tadi Belva lantas pergi ke Kafenya untuk meninjau seperti biasanya. Sepulangnya dari Kafe, Belva memutuskan untuk bersantai di taman yang tidak jauh dari rumahnya.
Kali ini Belva hanya sendiri, kedua sahabatnya tak dapat menemani karena memiliki acara masing-masing. Entahlah, namun Belva hanya ingin sedikit menenangkan dirinya yang ia rasa tak baik-baik saja akhir-akhir ini.
Gadis berhijab biru senada dengan gamis yang dikenakannya itu tengah duduk di kursi panjang yang sudah di sediakan. Tanpa sengaja netranya menangkap pemandangan sebuah keluarga yang tengah bercanda ria menikmati suasana sore hari di taman.
Dalam pandangannya terlihat seorang anak perempuan berusia sekitar delapan tahun yang tengah tertawa setelah di jahili oleh ayahnya juga sang ibu yang hanya tersenyum dan sesekali tertawa melihat anak dan suaminya.
Tanpa sadar Belva menatap lekat pemandangan itu membayangkan dirinya lah yang berada di posisi anak perempuan itu. Membayangkannya saja sudah terasa membahagiakan, bagaimana jika ia benar-benar merasakannya?
"Kenapa nangis?"
Belva yang tengah melamun sontak terlonjak kaget saat tiba-tiba mendengar pertanyaan yang di tujukan untuknya. Bahkan Belva sendiri tidak sadar sejak kapan ia menangis. Sejurus kemudian Belva menghapus air matanya dengan cepat, tidak ingin orang lain melihat sisi lemahnya.
Lelaki yang tadi bertanya pada Belva mendudukkan dirinya di ujung lain kursi. Dengan kata lain saat ini Belva dan lelaki itu sama-sama duduk di kedua ujung kursi taman.
Belva yang belum pernah ada di suasana seperti ini merasa tak nyaman. Biasanya selalu ada kedua sahabatnya yang menemaninya, terutama jika harus melibatkan makhluk bernama laki-laki.
"Gak perlu pergi, banyak orang di sini kalau itu yang kamu khawatirkan."
Laki-laki itu kembali berucap saat merasakan pergerakan Belva yang akan beranjak pergi. Seolah tersihir, Belva kembali terduduk di tempatnya.
Suasana hening selama beberapa saat. Tak ada obrolan diantara mereka. Mereka berdua terdiam seolah dua orang yang tak saling mengenal, tapi bukannya memang begitu?
Dari ekor matanya dapat Belva lihat bahwa laki-laki itu hanya duduk diam, tak sekalipun melirik ataupun melihat ke arahnya. Bahkan saat lelaki itu dua kali mengeluarkan suaranya tadi pun tidak sama sekali Belva lihat lelaki itu memandangnya. Pandangannya hanya menatap lurus ke depan.
"Memendam masalah itu ibarat meniup sebuah balon. Akan terus membesar jika anginnya tidak di keluarkan walau sedikit. Suatu saat nanti balon itu akan meledak tanpa bisa di cegah."
Belva mengerutkan keningnya saat tiba-tiba lelaki di sebelahnya bersuara. Namun tak sedikit pun Belva berniat akan menanggapi. Fokusnya adalah pada maksud dari ucapan laki-laki di sampingnya. Apakah terlihat jelas jika Belva sedang tidak dalam keadaan baik?
"Kita nggak bisa menyamaratakan masalah setiap orang karena setiap orang memiliki pola pikir, mental serta cara menanggapi masalah yang berbeda. Tapi bukan berarti kita nggak bisa buat berbagi masalah kita ke orang lain, itu perlu."
"Belajar mengapresiasi diri juga perlu. Seenggaknya dia hebat udah bertahan sampai sejauh ini. Coba buka mata, nyatanya banyak orang yang peduli dan siap mengulurkan tangan."
"Perlu juga di ingat, jangan selalu mendikte-Nya atas semua masalah yang datang, karena Dia yang saat ini memberikan ujian adalah Dia yang mengizinkan kita tertawa. Kamu nggak akan bisa bangkit kalau terus terpuruk. Assalamu'alaikum."
Laki-laki itu beranjak pergi meninggalkan Belva yang masih memproses maksud ucapannya. Bolehkah ia merasa bahwa itu memang ditujukan untuknya? Namun mengapa bisa sangat tepat sesuai dengan yang sedang dirasakannya sekarang.
KAMU SEDANG MEMBACA
KAITHALA : DO I DESERVE?
Novela JuvenilDalam hidupnya, tak ada yang lebih Belva inginkan kecuali kehangatan sebuah keluarga. Si gadis malang dengan masalah yang datang bertubi-tubi. Hidupnya mulai berubah saat Belva memasuki dunia putih abu-abu. Kehadiran sosok sahabat yang berdiri bersa...