"Keajaiban diperuntukkan bagi manusia-manusia beruntung. Kesempurnaan diperuntukkan bagi manusia-manusia istimewa. Dan kegagalan diperuntukkan bagi manusia-manusia yang kalah."
👗👗👗
"Al, apa impian lo?" tanya Leon ketika ia dan Alla tengah berbaring di atas pasir putih senja kala itu. Pandangannya mengangkasa.
"Hmm," Alla yang berbaring di sebelah Leon terdengar bergumam. Pandangannya juga mengangkasa. "Jadi seorang ibu," katanya yang kemudian menarik sudut bibirnya membentuk senyum.
Leon sedikit terhenyak mendengar jawaban gadis di sebelahnya. Jawaban Alla benar-benar jauh dari perkiraannya. Jawaban Alla adalah jawaban yang berhasil membuatnya sedikit takjub.
"Meski sejak kecil gue nggak pernah tahu gimana rasanya kasih sayang seorang ibu, tapi gue tetap memiliki impian kalau kelak gue harus bisa memiliki kesempatan menjadi seorang ibu. Tapi kayaknya...." Alla menghela napas panjang. Ada sedikit getar dalam nada bicaranya.
"Kenapa?" tanya Leon yang menoleh menatap Alla.
"Tuhan nggak akan kasih kesempatan itu buat gue." Alla menoleh ke arah Leon dan sukses membuat kedua matanya bertaut dengan netra karamel milik Leon.
"Kalau gue bilang loe bisa, gimana?" tanya Leon yang satu tangannya ia gunakan sebagai sandaran kepalanya.
Alla terkekeh. "Nggak mungkinlah. Hidup gue aja tinggal nunggu waktu. Gue takut untuk berekspektasi terlalu tinggi karena gue tahu akhirnya akan seperti apa. Jadi gue memutuskan mengubur impian itu dalam-dalam." Alla kembali menatap langit di atasnya. Warna oranye-nya membuat ia merasa sedikit bahagia.
Leon tergugu. Kalimat Alla membuatnya tersadar bahwa hidupnya pun sama saja. Hanya menunggu waktu. Menunggu kapan Tuhan akan memintanya pulang. Lantas bagaimana bisa ia meyakinkan Alla kalau gadis itu bisa mewujudkan mimpinya? Sementara ia sendiri saja sudah menyerah dengan hidupnya. Dengan segala impian dan rencananya. Tentu saja semenjak penyakit itu mulai menggerogoti tubuhnya. Seperti Alla, ia pun mengubur segalanya dalam-dalam.
"Tapi lucu juga ya kalau inget pertemuan kita sebulan lalu. Dirumah sakit. Salah ambil amplop. Sampai nggak sadar kalau ternyata kita baru saja dihancurkan semesta karena hasil pemeriksaan sialan itu." Alla tertawa.
Leon menarik sudut bibirnya membentuk senyum. "Gue bahkan sempat bilang kalau balet nggak menyenangkan dan bikin ngantuk doang." katanya.
"Rasanya pengen gue pukul kepala lo. Tapi gue inget kepala lo lagi sakit." kekeh Alla.
"Gue sempet berpikir nggak perlu memberitahu lo kalau amplop kita ketuker. Gue nggak butuh juga isi amplop itu karena gue tahu apa isinya dari dokter. Tapi mungkin nggak berlaku buat lo. Barangkali lo butuh itu untuk kasih tahu keluarga lo." jelas Leon.
"Akhirnya lo berubah pikiran dan memberitahu gue kalau amplop kita ketuker?" tanya Alla.
"Ya,"
"Lo bener. Gue butuh itu untuk gue beritahu ke bokap. Hari disaat gue ketemu sama lo di cafe, malamnya gue memberitahu bokap gue kalau gue sakit parah." Alla tertawa miris.
"Leon, lo harus memuji gue. Gue sama sekali nggak menangis ketika berhadapan sama bokap." kali ini Alla tersenyum sumringah.
"Lantas gimana reaksi bokap lo?" tanya Leon.
"Beliau marah besar dan bilang kalau gue udah nggak akan ada gunanya lagi setelah ini." jawab Alla datar. Tak ada senyum disana.
"Jadi?"
"Balet bukan impian gue, Leon. Itu impian mendiang Mama. Tapi sebelum Mama sempat melihat gue jadi balerina, beliau lebih dulu dipanggil Tuhan. Maka dari itu Papa berusaha keras mewujudkan mimpi Mama tersebut. Papa pengen Mama gue bahagia lihat gue dari surga kalau gue berhasil jadi balerina sesuai impian beliau." jelas Alla.
KAMU SEDANG MEMBACA
OASES | Jeno x Karina
FanfictionTidak segala hal mesti rampung ketika harus ditinggalkan. Tidak segala hal mesti selesai ketika harus ditenggelamkan. Tidak segalanya harus berakhir ketika harus dimusnahkan. Bagi Alla, Leon adalah kisah yang tak harus selesai meski raganya tak lag...