"Singkatnya, tak segala hal mesti rampung ketika harus ditinggalkan."
💫💫💫
"Leon, apa impian besar lo?" tanya Alla pada Leon yang baru saja merebahkan tubuh di sebelahnya.
Leon tak langsung menjawab. Masih sibuk mengatur napasnya yang tersengal usai memasukkan bola terakhirnya ke dalam ring. Setelahnya memilih mengikuti Alla yang merebahkan tubuhnya di tengah lapangan karena kelelahan usai bermain basket dengannya malam itu.
"Memiliki segalanya," jawab Leon kemudian dengan kedua tangan terlipat di antara dada dan perutnya. Menatap lampu sorot di atasnya.
Alla tak langsung memberi komentarnya. Menunggu Leon melanjutkan ucapannya. Ia yakin akan ada kalimat lainnya setelah ini.
"Terdengar klise ya?" tebakan Alla tepat, Leon kembali melanjutkan ucapannya.
"Kenapa harus segalanya? I think, lo cuma manusia biasa yang pasti punya keterbatasan." Alla baru berani berkomentar ketika Leon menoleh ke arahnya.
"Itu cuma impian. Lagipula gue nggak berhasil mewujudkannya." Leon terkekeh. "Mana ada manusia yang bisa memiliki segalanya." katanya.
"Tapi gue rasa lo udah hampir memiliki segalanya, Leon." Alla kembali memberi komentarnya.
"Oh ya?" Leon menatap netra hazel milik Alla dengan tatapan serius. Meminta penjelasan.
"Lo atlet yang sukses di usia muda. Keluarga yang lengkap. Orang-orang yang hebat di sekitar lo. Dan...."
"Ternyata lo sama aja, Al. Sama aja seperti yang lainnya." Leon menarik sudut bibirnya membentuk senyum.
"Maksud lo?" tanya Alla dengan dahi berkerut.
"Lo cuma bisa melihat apa yang bisa terlihat. Ternyata benar, nggak semua manusia mampu melihat keadaan yang sesungguhnya. Kecuali orang itu benar-benar tulus dan peduli." Leon terkekeh. Bukan kekehan mengejek Alla. Tapi lebih kepada mengejek dirinya sendiri yang selalu nampak baik di mata orang lain padahal sebenarnya tidak.
Alla menelan salivanya getir. Baginya, Leon sungguh seseorang yang sulit sekali tertebak. Sulit sekali terjamah. Sulit sekali diterka. Kalau boleh ia katakan, Leon sungguh pemeran sandiwara terbaik yang pernah ia temui di dunia.
"Gapapa, Al. Nanti lo ngerti apa maksud memiliki segalanya seperti yang gue bilang tadi." Leon tertawa kecil.
"Lo suka jadi atlet basket?" tanya Alla kemudian. Berusaha menepis perasaan tak enaknya pada Leon atas persepsinya yang salah tadi.
"Yeah, I love it. Itu salah satu impian gue sejak kecil. Kali ini bisa dibilang beruntung karena orangtua gue nggak menentang jalan yang gue pilih." sahut Leon.
"Ah, sorry gue ralat. Mereka nggak menentang bukan karena mereka suka melihat gue main basket. Mereka nggak menentang karena mereka nggak pernah tahu dan nggak pernah peduli dengan apa yang gue inginkan. Bahkan sejak kecil." Leon terkekeh singkat. Anggap ia tengah mentertawakan dirinya sendiri.
Alla mengerti maksud ucapan Leon. Ada perasaan tak terjelaskan dalam benaknya usai mendengar seluruh deret kalimat yang Leon lontarkan malam ini. Ditengah lapangan basket yang selalu menjadi saksi perjuangan hidup dan mimpinya.
"Leon, kalau gue bilang kelak akhirnya lo bisa berhasil mewujudkan mimpi besar lo untuk memiliki segalanya, gimana?" tanya Alla.
"Jangan berekspektasi terlalu tinggi ke sesama manusia, Al. Manusia itu tempatnya salah dan penuh keterbatasan seperti yang lo bilang tadi." jawab Leon.

KAMU SEDANG MEMBACA
OASES | Jeno x Karina
FanfictionTidak segala hal mesti rampung ketika harus ditinggalkan. Tidak segala hal mesti selesai ketika harus ditenggelamkan. Tidak segalanya harus berakhir ketika harus dimusnahkan. Bagi Alla, Leon adalah kisah yang tak harus selesai meski raganya tak lag...