Prolog

6.6K 420 41
                                    

Di ruang ini, raganya kembali sendiri. Memeluk dingin dan sepi yang berbalut sunyi. Ia kembali ada di sini, setelah perdebatan panjang dengan hatinya yang terluka. Ia gagal, mengikhlaskan sesuatu yang semula memberinya nyaman, lalu berakhir tanpa kepastian.

Ia rasa semua pengorbanannya selama ini sia-sia. Berusaha menerima, menggenggam, hingga akhirnya dipaksa melepas. Lagi-lagi semesta ingin bercanda. Padahal sejak awal ia kira semesta ingin bercerita, tentang kisahnya yang kelam dan berujung bahagia. Hanya saja ia salah. Cerita kelam tak akan pernah berakhir bahagia, karena goresannya hanya luka.

Ternyata meluluhkan keras yang ia jaga selama ini kembali sia-sia. Semua yang ia korbankan hanya sebagai alasan dirinya untuk bahagia, kini dibalas kecewa. Ia tahu, untuk saat ini raganya tak akan pergi. Namun jangan salahkan, bila batinnya terluka hingga hampir mati.

Bila saat itu raganya mampu untuk menolak, cerita hidupnya tak akan pernah berakhir sama; menyedihkan. Bila saja saat itu hatinya mampu berteriak, ia tak akan mudah memberi ruang untuk orang membalut nyaman. Iya, dia terlalu larut dalam harapan yang orang-orang berikan. Hingga ia mengutuk siapa pun yang membuatnya kembali terlihat lemah.

Tadi, saat tubuhnya jatuh, ia kira dunia akan mengakhiri hidup anak laki-laki yang hadirnya tak lagi memiliki arti. Namun ia salah. Semesta belum ingin menyelesaikan kisahnya yang kelam. Seakan memberi jeda untuk kembali menjanjikan bahagia. Dunia belum ingin memberi titik pada kisah hidupnya yang berakhir koma.

Ia ingin pergi. Namun sepertinya malaikat juga tidak ingin berteman dengan sosok anak laki-laki semenyedihkan dirinya. Lalu di mana ia bisa diterima? Apa luka dan kecewanya hanya sebatas ia rasa sendiri? Berlebihankah ia memaparkan luka, saat air mata tak bisa lagi berbicara?

Suara pintu yang terbuka, juga langkah seseorang yang mendekat membuat sadarnya kembali. Hanya saja ada perekat yang membuat matanya tak mampu terbuka. Ada beban yang begitu berat hingga seluruh badannya tak mampu bergerak.

"Gue datang, tapi terlambat, ya?"

Sayup terdengar suara seseorang di sisinya. Bergumam pelan sembari mengusap punggung tangannya yang masih terpasang infus. Ia ingin mengangguk, lalu meminta untuk pergi.

"Gue pernah bilang, telepon gue kapan pun kalau lo lagi nggak baik-baik aja."

Ia ingin menjawab, mengatakan bahwa semua panggilan masuknya menjadi panggilan tak terjawab. Semua permintaan bantuan yang ia balut dengan, lagi di mana? tak memiliki makna berbeda. Oh, apa orang di sisinya lupa bahwa mereka bersama bukan baru satu atau dua hari saja?

Lalu setelahnya tawa kembali terdengar, sebelum kalimat berikut terucap. Kalimat yang akhirnya membuat ia meneteskan air mata, di antara perekat yang memenuhi matanya.

"Sori, ya. Gue harusnya tahu kalau setiap lo telepon gue, artinya lo lagi nggak baik-baik aja. Harusnya gue nggak minta lo nunggu, cuman karena gue sibuk sama tugas-tugas gue. Harusnya gue nggak bilang lagi sama temen-temen, sampai lo ngerasa gue nggak punya waktu buat lo. Harusnya gue nggak bohong soal apa pun ke lo, kan? Nggak enak, ya, sakit sendiri? Kalau aja lo bilang langsung kalau lo sakit dan perlu gue, gue pasti batalin semua rencana gue." Ada hembusan napas kasar setelahnya. Bergema di antara sepi ruangan ini.

"Oke, gue nyerah. Harusnya gue yang peka, karena gengsi lo masih jauh di atas gue."

Sekali lagi, semesta ingin bercanda, bukan bercerita. Ia terlalu bodoh untuk menganggap semua ini bahagia. Namun nyatanya, ia bahagia. Setidaknya ada satu orang yang masih menganggapnya hidup.

- P R O L O G -
A—Z

Oke. Siap dengan kisah baru dari mereka?
Nanti beritahu aku, siapa favorite kalian ya 🤭

Aku nggak tahu berapa kerjaan yang masih aku tunda, tapi setidaknya ini bisa jadi pelampiasan di saat banyak pendingan yang harus dituntut selesai.

Selamat datang semua. Mari kembali bercerita ♥️

Bali, 25-05-2022

A-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang