21 | Selesai, ya?

2.8K 313 174
                                    

Melupakan sejenak rasa tak nyaman di tubuhnya, Zean memutuskan untuk keluar dari kamar sekitar pukul dua siang. Perutnya berontak ingin diisi. Beruntung sisa sakit di kepala yang ia rasakan sejak kemarin perlahan memudar. Mungkin karena ia habiskan untuk tidur sejak pagi tadi.

Sejak tadi Yesi sudah pergi karena urusan pekerjaan. Dan wanita itu sudah menawarkan Zean untuk disiapkan makanan sebelum ia pergi. Namun karena rasa pahit di mulutnya, Zean menolak. Mengatakan bahwa ia akan memesan makanan bila ingin.

Lalu kini, rasanya malas bila harus memesan makanan dan menunggu hingga setengah jam. Apalagi di jam sibuk, pesanannya akan datang lebih lama. Hingga setelah meneguk segelas air, Zean memutuskan untuk meraih satu bungkus mi instan di rak atas. Sepertinya tak apa bila sedang kepepet seperti ini.

Awalnya ia ingin menghubungi Affandra. Menitip makanan saat anak itu pulang. Namun Zean yakin Affandra pasti menolak dengan banyak alasan. Daripada membuat mereka bertambah ribut, ia mengurungkan niatnya.

"Ngapain?" Suara seseorang menghentikan pergerakan Zean yang akan menghidupkan kompor. Menemukan Affandra yang sudah berdiri di sisi meja makan.

"Mau masak mi. Lo mau?" ucap Zean dengan senyuman. Menyembunyikan rasa terkejut karena tiba-tiba ada Affandra di sana.

"Katanya sakit, ngapain masak mi? Mau sekarat?"

"Ya lagian gue laper, adanya cuman mi, Fan. Nggak apa-apa, makan mi sekali nggak akan buat mati, kan?"

Affandra menarik kursi meja makan, lalu duduk memperhatikan Zean dari sana. "Gue ada bubur ayam kalau lo mau."

"Buat gue?"

"Iya. Mami bilang lo sakit. Makanya gue beli buat lo. Mau? Kalau enggak, kasih kucing tetangga aja."

Zean tersenyum, mematikan kompor yang airnya sudah hampir mendidih. Lalu berjalan mendekati Affandra. Setidaknya anak itu sudah mau berbicara saja, Zean sudah senang.

"Kasian banget dikasih kucing tetangga. Apalagi adik gue udah berbaik hati mau beliin," ucap Zean yang masih di balas tatapan malas oleh Affandra. "Kenapa cuman satu? Buat lo mana?"

"Gue udah makan."

"Serius?"

"Gue bukan anak kecil yang kalau makan harus diingetin dulu!" sahut Affandra. Ia memang sudah sempat makan roti yang Soni beli saat ia sedang bersama Fauzan tadi.

Zean hanya mengangguk. Tak ingin memperburuk suasana karena mereka belum sepenuhnya berbaikan.

Setelahnya suasana kembali sunyi. Zean yang fokus dengan makanan; sesekali melirik Affandra yang sibuk dengan ponsel. Anak itu tetap di sana. Di hadapan Zean hingga perlahan bubur yang ia makan habis. Bila boleh menyimpulkan, Zean rasa Affandra sudah tak semarah kemarin. Ia bisa membaca gerak-gerik adiknya walau anak itu hanya diam. Tak ada gurat amarah dan kecewa sebesar kemarin. Tak ada rasa benci dari bagaimana tatapan dan cara bicara anak itu. Dan seharusnya Affandra tak di sini bila saja hubungan mereka seburuk kemarin.

"Mami mana?" tanya Affandra. Membuat Zean kembali mendongak setelah menyuap sendok terakhir.

"Lagi ketemu temennya. Btw, thanks ya."

"Oh. Kenapa nggak nelpon gue kalau mau nitip makan?"

"Emm... lupa. Gue nggak kepikiran buat nelpon lo saking lapernya." Bohong Zean. "Lo masih marah banget sama gue?"

A-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang