26 | Menangislah ...

1.5K 219 60
                                    

Bila melodi terindah dalam hidupnya adalah kesunyian, mungkin Affandra akan kembali pada masa di mana ia hanya bergantung pada dirinya sendiri.

Tengah malam tadi, Affandra sempat terbangun tanpa ada Zean atau pun Fauzan di kamar itu. Dengan keadaan setengah mengantuk, dan kepala yang masih berat, ia memutuskan untuk mencari Zean di ruang tamu. Mereka memang mengatakan akan tidur di ruang tamu sembari menonton bola.

Hanya saja langkahnya terhenti saat mendengar obrolan mereka. Setengah berbisik, tapi Affandra masih jelas mendengar.

"Siapa lagi, sih?"

"Ini udah termasuk ancaman, Zen."

"Bangs*at! Kalau ini sampai ke papa atau Fandra gimana?"

"Nah, itu. Lo yakin orang itu nggak ngirim ke Fandra juga?"

Entah apa awal dari obrolam mereka. Seketika Affandra membuka ponsel yang semula ia genggan. Tidak ada pesan apa pun. Lalu... pesan apa yang dikirim ke Zean sampai kakaknya semarah itu?

"Gue harap enggak. Nanti gue cek hape dia. Tapi, Jan... berarti tadi ada orang lain juga di sana?"

"Orang suruhan Raffa?"

"Bisa jadi. Mereka sengaja merencanakan ini dan buat seolah-olah ada yang memata-matai. Hasilnya sempurna. Dari sudut mana pun, orang akan percaya kalau mereka adalah pasangan."

"Gawat kalau Om Rey sampai tahu. Apa lo nggak cerita dulu semua ke Fandra? Dia tahu dari awal masalah ini, dan seharusnya nggak ada yang lo tutupi lagi."

"Gue pastiin kondisi dia besok. Gue bakal cerita kalau kondisi dia memungkinkan."

Kalimat-kalimat Zean itu masih terputar jelas di kepala Affandra. Ia masih tak tahu bagian mana yang Zean tutupi. Kedatangan Raffa? Perlakuan Raffa? Pertemuan Raffa dan Yesi? Sepertinya Affandra sudah tahu semua.

Namun ia tak akan bertanya terlalu banyak sebelum Zean yang lebih dulu berbicara. Mungkin ada hal yang memang tak bisa laki-laki itu ungkapkan. Dan semoga bukan hal yang besar.

"Sarapan dulu, yuk. Setelah itu kita balik." Suara Zean dari balik pintu berhasil membuyarkan lamunan Affandra. Dengan sedikit senyuman, akhirnya ia bangkit. Hanya saja panggilan dari ponsel yang ia genggam, membuat mereka sama-sama terhenti dan saling bertatap.

"Papa," ucap Affandra pelan, yang dibalas anggukan oleh Zean.

Dengan sedikit ragu, Affandra mengangkat panggilan dari Rey. Tidak biasanya Rey menghubungi sepagi ini. Apalagi seingat Affandra papanya sedang tidak ada di rumah.

"Andra, di mana? Pulang sekarang, ada yang Papa mau bicarakan."

"Ada apa, Pa?"

"Pulang dulu aja. Papa tunggu di rumah. Ajak Zean sekalian."

"Iya, Pa. Tiga puluh menit lagi kita balik."

Affandra kembali melirik Zean yang berdiri di depan pintu. Laki-laki itu tak berbicara apa pun lagi. Hanya memastikan Affandra mengikuti langkahnya ke meja makan.

Ia sedang tak ingin menduga-duga. Ia juga tak ingin menaruh curiga. Hanya saja mendapati panggilan dari Rey sepagi ini, menjadi hal yang tidak wajar. Mungkin perasaan ini bukan hanya dirasakan Affandra, tetapi juga Zean yang diam-diam menahan  gemuruh di dadanya.

🪨

Pagi ini, semenjak ia memutuskan untuk meninggalkan rumah Fauzan dan kembali ke rumah atas perintah Rey, perasaannya mulai tak tenang. Bahkan bising di kepalanya tak bisa ia kendalikan sejak semalam. Membuat ia beberapa kali terbangun dan tak merasakan tidur nyenyak.

A-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang