11 | Masa Lalu

2.3K 277 55
                                    

"Terus, reaksi Zean gimana?" tanya Soni. Ia rasanya ingin bertepuk tangan yang keras karena sosok dingin dan kaku seperti Affandra akhirnya mencairkan hatinya untuk terbuka pada Zean. Padahal Soni tahu, Affandra bukan tipikal orang yang akan mengumbar kelemahannya pada orang baru. Bahkan menerima Zean menjadi kakak tiri masih seperti hal yang mustahil. Mengingat dalam kamus hidup Affandra, ia tak akan mempercayai orang baru lagi yang masuk dalam hidupnya.

"Ya ... di luar dugaan gue, sih. Dia kekeh kalau setelah tahu semua ini, nggak akan jadi alasan dia jatuhin gue. Jujur, gue ragu, Son. Gue selalu berusaha untuk nyari celah, kalau apa yang Zean bilang buat yakinin gue itu bohong. Tapi gue nggak nemu itu dari cara dia bicara. Bahkan setelah gue mutusin buat ninggalin dia di teras belakang, dia tetep di sana sampai lewat tengah malam. Gue nggak tahu apa yang dia pikirin. Gue biarin dia di sana sendiri tanpa gue samperin lagi. Dan tadi pagi, gue ngeyakinin diri gue sendiri, kalau gue terlalu egois untuk nolak niat baik Zean. Gue nggak salah, kan?"

Soni menggeleng, "Gue masih percaya kalau apa yang hati kita bilang, itu jawaban terbaik. Kalau diri lo udah yakin, lo nggak perlu pembenaran lagi dari orang lain. Lo percaya Zean yang lo temuin di rumah nggak sama seperti Zean yang ganggu lo di sekolah, kan?"

"Iya, setidaknya itu yang Zean selalu bilang ke gue."

"Memang Zean ada dua, ya?" tanya Faiz, menyela obrolan Affandra dan Soni yang serius. Sejak tadi Faiz tak banyak ikut mengobrol, namun ia mendengar. Otaknya terlalu ruwet mencerna obrolan mereka. Jadi ia putuskan untuk fokus bermain game sebelum bel masuk berbunyi.

"Iya ada dua, di mata kiri lo satu, di mata kanan lo satu!" ucap Soni lalu bangkit, berpindah ke tempat duduknya karena bel baru saja berbunyi.

"Ih, aneh lo! Lo kira mata gue layar TV, tampilannya bisa beda-beda!"

"Lagian lo nggak nyambung. Makanya kalau sekolah otak lo jangan ditinggal di meja makan. Kasian, jadi otak-otak goreng," sahut Soni.

Sedangkan Affandra kembali menarik Faiz agar membenarkan posisi duduk dan meletakkan ponselnya. Bila ia biarkan, perdebatan ini akan berlanjut hingga pulang sekolah.

🪨

"Pulang bareng adik tiri lo?" Fauzan ikut bersandar di sisi samping mobil Zean, diikuti Riky dan Gio. Zean sedang menunggu Affandra pulang. Sebelumnya ia sudah mengirim pesan agar anak itu segera menghampirinya di parkiran, namun tak ada balasan.

"Affandra. Dia punya nama," sahut Zean. Ia masih mencoba menghubungi Affandra, takut adiknya lupa bahwa mereka tadi berangkat bersama.

"Oke, Affandra. Tuh, anaknya dateng." Fauzan menunjuk anak laki-laki yang kini berjalan ke arah mereka. "Ya udah, gue sama yang lain duluan. Nanti malam kita tunggu di tongkorongan. Jangan sampai lo nggak dateng."

Zean hanya mengangguk. Membiarkan teman-temannya berlalu lebih dulu. Walau ia bisa melihat jelas raut wajah Affandra yang tak enak saat berpapasan dengan mereka. Zean masih belum memikirkan bagaimana cara membuat Affandra dan teman-temannya saling menerima satu sama lain. Mengingat bagaimana ia mengibarkan bendera perang pada anak itu sejak pertama bertemu.

"Temen-temen lo mau bunuh gue?" Affandra membuka pintu mobil dan masuk lebih dulu. Lalu di susul Zean.

"Mereka nggak akan berani nyentuh lo, tenang aja."

"Gue kira selama ini cuman lo yang benci sama gue, ternyata pasukan lo juga."

Zean tersenyum. Sedikit melirik Affandra di sebelahnya. "Bukannya dua temen lo juga sama?"

"Iya juga, sih. Oke, impas," sahut Affandra.

"Mau makan dulu nggak? Mami sama Papa juga lagi nggak ada di rumah," ucap Zean yang langsung di balas anggukan oleh Affandra.

A-ZTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang