Bab 2

80 16 4
                                    


Usia muda, baka dan tekad kuat dari Wini, membuat dirinya bisa melangkah dan berjuang untuk meraih cita-citanya. Wini sudah memasuki semester 2, mungkin sebentar lagi ia akan menjadi dokter sukses.

Bekerja di rumah sakit besar dan mendapatkan gaji yang cukup untuk membantu ibunya.
Wini mengambil jurusan kedokteran karena dirinya merasa kasian pada ibunya.

Di usia, tuan dan renta masih berjuang untuk bekerja. Sehingga terkadang ia selalu melihat ibunya mengeluh sakit. Entah itu kepala, badan atau sebagainya.

Ia hanya ingin kedepannya bisa merawat ibu di rumah atau rumah sakit tanpa mengeluarkan uang.

Sejak kematian ayah Wini. Ibunya selalu berjuang untuk bisa membiayai anak-anaknya. Namun, berbeda dengan Wini. Ia memilih berusaha sendiri, dari bekerja paruh waktu hanya untuk membiayai sekolahnya dulu, tanpa merepotkan ibunya.

Hingga suatu hari Wini mendapatkan kabar dari Egi yang masuk kuliah di universitas jakarta. Egi mengatakan jika universitas itu sedang mengadakan beasiswa untuk siswa-siswi yang memiliki prestasi.

Dan saat itulah Wini mulai mendaftarkan dirinya, berharap ia bisa lolos untuk mendapatkan beasiswa.
Wini menunggu hingga lumayan lama, tapi belum juga mendapatkan kabar.

Membuat Wini tidak memiliki harapan lagi untuk bisa lolos. Waktu sudah terlalu lama, Wini memilih untuk melupakan semua itu. Dengan alasan mungkin masih banyak yang lebih pandai dan beruntung darinya.

Begitulah, cara Wini mendapatkan beasiswa hingga sekarang ia masih memperjuangkan beasiswa itu hingga akhir. Wini terus mempelajari materi-materi yang di sampaikan oleh para dosen. Dengan otak cerdasnya dengan mudah Wini bisa menerima materi itu dengan mudah tanpa kendala.

*******

Wini sedang mendudukkan tubuhnya dengan membaca buku yang ada di dalam ruangan. Buku berisikan tentang materi kedokteran.

"Hanya tinggal beberapa halaman saja, mungkin hari ini aku bisa menyelesaikannya." ucap Wini, mulai membuka halaman terakhir yang ia baca kemarin. Melanjutkan bacaanya dengan serius di saat belum ada yang datang di UKS ini.

Suasana sunyi membuat Wini lebih bisa fokus dan tenang dalam membaca, tidak ada gangguan atau hal lainya.

"Tok, tok, tok," suara ketukan pintu membuat Wini menghentikan aktivitasnya membaca. Ia menaruh kembali buku di atas meja. Pintu terbuka, kepala muncul dari balik pintu dengan tersenyum memperlihatkan sederetan giginya.

"Hehe, apa aku mengganggu?" tanya orang itu, yang tidak lain adalah Egi.
Wini terlonjak kaget karena Egi membuatnya terkejut. "Astaga," kaget Wini, memegangi dadanya. "Gitu aja kaget, lebay lo Win," jawab Egi, "ngapain lo kesini?"  Wini bertanya dengan nada sinis. "Gue bosen di kelas, dosen gak masuk." Egi menjawab dengan nada melas.

"Kan lo bisa pergi ke kantin, perpustakaan atau kemana gitu," Wini sedikit kesal, karena Egi mengganggu kesendiriannya untuk membaca buku. "Santai kenapa Win, jangan galak-galak takutnya lo gak laku-laku ntar." Ucapan Egi seketika membuat wajah Wini memerah.

Amarah sudah mulai terlihat, tatapan tajam Wini perlihatkan.
Egi terlihat khawatir, jika ia akan dapat ocehan panjang melebihi dongeng tengah malam oleh temannya.

"Hehe, maafin gue Win, itu hanya bercanda ya," Egi mencoba memohon pada temannya agar tidak marah, atau mengomel padanya.

Jika hal itu terjadi, gendang telinga Egi harus di bawa ke dokter THT.
"Huftt," Wini menghela nafas panjang, menenangkan hatinya yang memanas. "Kalau lo di sini jangan ganggu mood gue, jika lo sampai ganggu gue, gak segan-segan buku ini ku lempar padamu." Wini berucap dengan nada memperingatkan.

My Love Is Like WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang