Bab 4

47 12 11
                                    


Revan berjalan keluar meninggalkan ruang UKS, dengan lengan siku dan kakinya yang terluka. Berjalan dengan sedikit tertatih.

Ia kembali berjalan menuju lapangan untuk mengikuti pertandingan lagi, kini ia mendekat kearah tim basket untuk bergabung. Namun, Firman membuat Revan menghentikan langkahnya.

"Lo ngapain Van?" tanya Firman. "Gue mau ikut main lagi." balas Revan. "Jangan aneh-aneh, lo baru aja cidera, lebih baik istirahat." perintah Firman. "Gue gak apa-apa Fir, lebay banget lo." kesal Revan, karena tidak di ijinkan mengikuti pertandingan.

"Sudahlah lebih baik lo, liat pertandingan saja dari sana." tunjuk Firman, pada kursi kosong yang berada di ujung.
"Huh," dengkus Revan, melangkah menuju kursi sesuai perintah temannya. Biasanya ia akan keras kepala.

Namun, kali ini Revan hanya bisa menurut, karena memang tubuhnya masih terasa nyeri. Ia mendudukkan tubuhnya sambil mengamati pertandingan di depannya. Tatapan datar ia perlihatkan, Revan mendengar semua siswi menyoraki namanya.
Tapi ia tidak bisa mengikuti pertandingan itu.

Ada rasa kecewa karena membuat pendukung tim nya tidak melihat ia bermain. Membuat Revan sedikit menyesal, seharunya ia lebih hati-hati dan bisa melihat bahaya di sekitarnya.

Pertandingan begitu seru hanya tinggal beberapa menit lagi. Salah satu temannya terjatuh seperti Revan lagi. Membuat Revan beranjak dari tempatnya nekad untuk menggantikan temannya dengan keadaanya yang belum pulih.

"Istirahatlah, gue yang gantiin." jelas Revan. "Lo yakin Van? Keadaan lo juga belum pulih." tanya Firman. "Gue yakin, dan kita harus menang dari mereka, semangat." jelas Revan, menyemangati timnya.

Revan berlari menuju lapangan, kaki dan tangan-nya masih terasa nyeri. Namun, ia berusaha menahan-nya untuk bisa memenangkan pertandingan. Hanya butuh satu poin lagi di detik-detik terakhir agar tim dan juga universitasnya menang dalam pertandingan ini.

Berlari dengan sedikit tertatih, mencoba untuk membuat semua penonton terkesan dengan permainan mereka. Membuat Revan tidak memikirkan keadaan lukanya. Dalam hitungan detik Revan bisa memenangkan pertandingan.

Semua pendukung mereka merasa bahagia, akhirnya tim basket dari kampus bisa memenangkan pertandingan ini. "Yeah, selamat untuk tim basket dari Universitas Jakarta, dengan skor 15-16 hanya selisih 1 poin saja." ucap pembawa acara di sana.

Revan merasa bahagia bisa memenangkan pertandingan dengan selisih poin sangat tipis. Hingga ia tida menyadari jika darahnya kembali mengalir membuat perban yang semula berwarna putih kini berubah warna menjadi merah.

"Van, perban lo." Firman berucap dengan menunjuk perban di siku teman-nya. Revan melihatnya dengan wajah datar, seperti tidak memperdulikan luka itu. "Coba lo bawa ke UKS lagi Van, biar di ganti perban." ucap Firman, "Gak, perlu ntar juga kering." tolak Revan, "Jangan gitu Van, nanti infeksi, mau lo di amputasi." Firman mencoba menakut-nakuti sahabatnya.

"Bawel banget sih lo, kayak cewek." kesal Revan, ia melangkah pergi menuju UKS, untuk memeriksakan lukanya lagi. Revan di kenal dengan pria dingin saat ia berhadapan dengan seorang wanita, atau orang yang belum ia kenal.

Jika dengan tim basketnya Revan akan menjadi pria yang banyak bicara.

*********

Suara ketukan membuat Wini menghentikan aktivitasnya. Seorang pria masuk ke dalam mendudukkan tubuhnya dia atas ranjang. "Kau lagi, ada apa?" tanya Wini, saat melihat Revan datang. Revan hanya menyodorkan lengannya yang sudah penuh dengan darah di siku tangannya.

"Astaga, perasaan baru gue obati tadi kenapa udah separah ini?" tanya Wini lagi. Ia mencoba membuka perban itu dan benar, darah segar mengalir dari siku pria ini. Wini berjalan untuk mengambil peralatan sebelum membersihkan luka itu.

My Love Is Like WaterTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang