dua

697 57 3
                                    

Kalau hati ini adalah ladang, kamulah yang jadi petaninya. Yang setiap hari selalu datang, menggarap, memberi pupuk.

Dan kamu adalah petani yang baik. Tak pernah lupa menjaga agar ladangnya tetap subur dan benihnya tumbuh dengan sehat.

Aku memandangmu setiap waktu. Dan setiap hari selalu kutemukan hal baru tentangmu. Makin dipandang, makin menarik.

***

Pagi ini sungguh normal. Tidak seperti kemarin. Padahal matahari baru naik sepenggalan, tapi Adel sudah dikerumuni oleh banyak cewek centil dan berisik.

Aku memang berisik, dan agak centil juga. Tapi setidaknya aku masih punya muka tidak seperti mereka. Berebut menghampiri kelasnya pagi-pagi, pura-pura minta diajari atau semacamnya, apa-apaan itu? Aku memang tidak suka pedas. Aku benci cabe. Apalagi cabe-cabean!

Kalau sedang kesal, aku ingin makan. Aku selalu membayangkan makanan yang masuk ke dalam mulutku adalah orang yang membuatku kesal itu. Kugigit, kukoyak dengangigi taringku, kukunyah, lalu kutelan dengan lahap. Rasanya plong sekali.

"Bakso satu, Mbak!" pesanku pada Mbak Sumini, penjual bakso di kantin sekolah.

"Campur?"

"Tidak pakai saos, tidak pakai sambel, juga tidak pakai kol."

Aku mengisi satu-satunya meja yang kosong dengan dua kursi. Sekarang tinggal duduk menunggu dengan bosan. Di saat seperti inilah, pasti selalu terbayang momen-momen paling menyebalkan.

Semua cewek itu terlalu merepotkan. Walaupun sebetulnya mereka tidak begitu penting, Adel tidak mungkin tertarik sama salah satu dari mereka, tapi tetap saja aku risih melihatnya.

Asal tau saja, kandidat yang kuat untuk mendapatkan Adel mungkin hanya ada 2 orang di sekolah ini.

Kandidat pertama adalah Callie, siswi senior yang kecantikannya sudah terkenal satu sekolah. Dia sudah punya pacar di sekolah lain, tapi pesona Adel sepertinya lebih kuat daripada kesetiaan Callie. Semua orang tau dia selalu deketin Adel dan berusaha dapetin dia dengan berbagai cara. Tentunya dia akan menjadi lawan yang sulit buatku.

Kandidat kedua adalah Muthe, cewek yang satu kelas dengan Adel. Sebetulnya aku agak ragu dengan yang ini. Kalau bukan karena si Kathrin yang sering gosipin mereka berdua, aku tidak akan menjadikannya kandidat kuat. Faktanya, aku tidak pernah melihat mereka dekat sama sekali. Mereka berdua hanya sama-sama pintar di pelajaran matematika, selebihnya tidak ada kedekatan apa-apa. Selain itu Muthe adalah salah satu siswi paling muslimah di sekolah. Baju panjang, jilbab panjang, dan kalau berjalan selalu menunduk. Kecil kemungkinannya kalau dia sampai mau pacaran. Apalagi sesama cewek.

Selebihnya hanya cewek-cewek genit yang berusaha mendapatkan waro dari Adel (yang tentunya mereka tidak mendapatkannya). Ini yang paling aku benci, karena untuk suatu alasan, mereka mengingatkan aku sama diri aku sendiri. Apakah nasibku akan sama dengan mereka?

Lima menit aku melamun sendirian, semangkuk bakso mendarat di mejaku. Orang yang mengantarkannya lalu duduk di kursi di depanku, di meja yang sama.

"Punya kamu," katanya.

Sebenarnya aku ingin mengucapkan terima kasih, tetapi suaraku menyangkut di tenggorokan saat melihat wajah orang itu. Aku pun hanya mengambil bakso itu dan langsung menyantapnya.

Ya ampun, kenapa sekarang? Kenapa si Adel ada di sini? Aku belum menyusun kata-kata yang pas untuk ngobrol.

Aku hanya terus melahap dan melahap lagi bakso itu. Rasanya makin asin. Pasti kuahnya sudah terkontaminasi oleh keringat dinginku yang bercucuran karena gugup.

Dalam DiamTempat cerita menjadi hidup. Temukan sekarang