Aku memang pemalu. Tidak enak hati membeberkan semua rahasia padamu.
Padahal kelas kita berseberangan. Setiap saat aku bisa melihatmu dari sini. Menikmati wajah lucu yang kamu pamerkan. Membayangkan kalau aku bisa memandangnya dari dekat. Pasti menyenangkan.
Aah, andai ayahku tidak menurunkan gen pemalunya padaku, mungkin sekarang kamu lagi ada di sebelahku, dan aku bisa memandangi kamu sepuasnya, Shel.
***
Pukul 2 siang kantin mulai sepi. Sebagian besar siswa sudah pulang, hanya tersisa anak yang ada kegiatan ekstrakurikuler, atau yang masih ingin bermain-main di sekolah seperti aku.
"Mbak Sumini, aku pesen bakso setengah, bumbunya setengah, sayurannya setengah, sama kuahnya setengah."
"Kok pesennya setengah-setengah, Neng?"
"Lagi diet, Mbak."
"Oh, okelah kalau begitu."
"Sip. Pesennya porsi dobel ya, Mbak."
Mbak Sumini ngelag sesaat. Setelah dia ngeh mukanya langsung berubah kesal. "Saya tampar ya!"
"Bercanda, Mbak. Hehe."
Beberapa menit kemudian bakso pun telah dihidangakan. Aku menyantap bakso itu sendirian, sambil menunggu Marsha dan Kathrin yang sedang mengerjakan tugas kelompok di kelasnya.
Kemudian Adel dan Muthe melintas di depan kantin. Sepertinya habis dari ruang guru dan sedang menuju ke kelas.
Melihat mereka berjalan berdampingan seperti itu membuat perutku mual. Kalau saja tidak ada Mbak Sumini di sebelahku mungkin sudah aku muntahkan lagi bakso di mulutku ini.
Dengan terpaksa aku habiskan bakso di mangkuk. Lalu segera bersiap untuk menyusul Marsha dan Kathrin ke kelasnya. Baru saja aku hendak bangkit dari bangku, tapi tiba-tiba seseorang memanggilku dari belakang.
"Ashel!"
Aku menengok. Seorang cewek dengan jaket varsity hitam terlihat sedang berdiri terpaku. Kalau tidak salah namanya Azizi, si anak baru di kelasku.
"Kamu Ashel kan?" dia bertanya.
"Iya. Kenapa?"
"Aku menyukaimu."
"Hah?"
"Mau pulang bareng, enggak?"
***
Pintu kelas itu kudobrak dengan tergesa-gesa. Kulihat di dalam masih ada beberapa anak sedang mengerjakan tugas kelompok. Mata mereka menatapku dengan heran. Tapi aku tidak peduli. Aku buru-buru masuk dan menghampiri bangku yang ada di pojok ruangan.
"Sha! Tin! Tutup buku sekarang juga! Taruh pulpennya! Aku mau cerita!" Kataku dengan napas ngos-ngosan.
"Ada apa sih, Shel? Kita lagi ngerjain tugas nih!" kata Marsha.
"Enggak semua orang gabut kayak kamu, Shel!" tambah Kathrin.
"Dengerin dulu!" aku menyela. "Kalian tau si Azizi, kan?"
"Anak baru di kelas kamu?" tanya Marsha.
"Iya!" jawabku. "Barusan banget dia bilang katanya dia suka sama aku."
"Hah?"
"Terus dia ngajakin aku pulang bareng."
"Sebentar. Ini serius?" tanya Kathrin ragu.
"Serius paling serius."
"Kok bisa?"
"Kath, gue gak suka sama nada pertanyaan lo ya!"
"Bukan gitu, Shel. Maksud aku, dia kan baru sehari sekolah di sini. Kok udah berani sih? Emangnya kamu udah pernah kenal dia sebelumnya?"
"Ya belum lah."
"Nah, kan."
Kathrin ada benarnya. Seumur-umur baru kali ini ada orang yang nyatain perasaannya ke aku dengan segitu gampangnya. Tanpa pedekate, tanpa babibu, langsung hajar begitu saja.
Apakah ..., dia menyukai aku pada pandangan pertama? Seperti aku menyukai Adel? Tapi aku saja kesulitan untuk mendekati Adel.
"Terus, kamu jawab apa, Shel?" tanya Marsha.
"Maksudnya?"
"Dia kan bilang suka sama kamu. Terus kamu jawab apa?"
"Aku enggak jawab apa-apa, Sha. Aku kaget banget tadi. Setelah dia bilang begitu, aku cuma mematung sesaat, terus buru-buru lari ke sini!"
Kathrin menepuk jidatnya sendiri. "Padahal ini kesempatan yang bagus lho, Shel! Kapan lagi coba ada yang suka sama kamu?"
"Kath, lo bilang begitu sekali lagi gue tampar ya!"
"Hehe. Maaf, Shel. Keceplosan."
"Tapi Kathrin bener lho, Shel," kata Marsha. "Siapa tau Azizi bisa membuat kamu melupakan Adel."
"Tapi aku enggak mau melupakan Adel, Sha. Aku belum mau menyerah sama Adel."
"Ya ampun, Shel! Ngapain sih kamu masih mikirin orang yang bahkan suka sama kamu aja enggak. Udah lah, lupain dia! Lagian dia sekarang udah bahagia sama Muthe. Bahkan mereka udah staycation bareng."
"Apa?! Yang bener lo, Kath?!"
"Di wattpad doang tapi. Hehe."
"Udah gila lo ya?! Masih aja ngeship mereka berdua!"
D ua jam penuh aku berbincang dan berdebat dengan mereka berdua. Dan endingnya tidak ada kesimpulan apa-apa. Aku masih belum tau apa yang harus aku lakukan dengan Azizi. Dan aku masih belum ingin melupakan Adel. Aku pulang duluan. Sementara Marsha dan Kathrin masih melanjutkan tugasnya.
Aku berjalan ke arah gerbang sekolah. Tidak jauh dari sana, seorang cewek terlihat sedang mengobrol dengan satpam sekolah.
Cewek itu menyadari keberadaanku, lalu melambaikan tangan. Seberkas senyuman tergurat di wajahnya.
"Jadi gimana?" tanya cewek itu setelah berjalan menghampiriku.
"Gimana apanya?"
"Pertanyaanku tadi belum kamu jawab lho. Mau pulang bareng atau enggak?"
Hah? Jadi dia menunggu di sini, hanya untuk mengajakku pulang bareng?
"Kamu ..., nunggu di sini cuman buat nanyain itu?" tanyaku memastikan.
"Iya lah! Emang mau ngapain lagi?" jawabnya sambil tersenyum.
"Kenapa ..., kamu ngelakuin ini?"
"Kan udah aku bilang. Aku menyukaimu."
Beberapa detik aku mematung, tanpa mengucap sepatah kata pun. Belum pernah sama sekali aku bertemu dengan orang se-to the point ini.
Kalau kuperhatikan lagi, dia ternyata manis juga. Apalagi kalau senyum. Tapi ..., kalau dengan orang yang baru kenal saja sudah bisa berani seperti ini, dia pasti tidak kesulitan untuk mendapatkan incarannya. Pasti pacarnya banyak.
"Hei!" sentaknya pelan. "Jangan bengong, dong. Aku masih nunggu jawaban kamu nih."
Matanya menatapku lekat-lekat. Mata yang tajam dan berbinar seperti mimpi.
Apakah dengan ini, aku betul-betul bisa melupakan Adel? Apakah aku betul-betul ingin melupakan Adel?
Matahari mulai memancarkan cahaya kekuningan. Semilir angin berembus dengan lembut, menggoyangkan rambutku dan rambutnya dengan irama yang bersamaan. Sepasang kupu-kupu melintas di atas kepala kami, menari-nari sesaat, kemudian terbang tinggi ke arah langit senja.
Aku menerima ajakannya.
***
KAMU SEDANG MEMBACA
Dalam Diam
RomanceAdel, cewek cool yang disegani banyak orang. Dan Ashel, salah satu dari sekian banyak cewek yang menyukainya.